Kamis, 10 Juni 2010

Mengambil Keputusan dalam Kondisi Paradok

First Think First :
Mengambil Keputusan dalam Kondisi Paradok


Oleh Akmal Sutja

A. LATAR BELAKANG

Prinsip polaritas (polarity) Sigmund Freud (Corsini:1984), bahwa kehidupan manusia sepanjang hari dihadapkan untuk memilih sesuatu dan menolak lawannya, agaknya berlaku dalam kehidupan organisasi. Para pimpinan, menejer atau administrator dari setiap institusi atau lembaga, baik level atas, menengah maupun bawah, akan selalu dihadapkan untuk mengambil keputusan atau menetapkan pilihan atas polaritas ini; ya atau tidak, terima atau tolak, deal or not-deal istilah Tantowi Yahya dalam salah satu acara di TV swasta.

Oleh sebab itu, pengambilan keputusan adalah pekerjaan utama setiap pemimpin. Tidak ada satupun pemimpin yang bebas dari pengambilan keputusan ini, mulai dari level tertinggi sampai level terendah, bersifat profit maupun non-profit, baik milik publik maupun privat, berbentuk formal atau non-formal. Pokoknya, setiap pemimpin, di level manapun dan dalam lembaga apapun, akan selalu berurusan dengan yang namanya pengambilan keputusan (selanjutnya disingkat PK), mulai dari keputusan yang bersifat sederhana sampai kompleks.

Anehnya, meskipun merupakan pekerjaan setiap hari para pemimpin, PK bukanlah berarti pekerjaan yang sederhana. Secepat seorang pemimpin mengambil keputusan, secepat itu pula telah ditunggu polarisasi lain; Apakah keputusan itu menuai hasil positif atau negatif, untung atau rugi, diterima atau ditolak, bermanfaat atau tidak, efisien atau boros, efektif atau ngambang. Polaritas ini justru akan menentukan kualitas seorang pemimpin. Bila keputusan yang diambil pemimpin membawa danpak positif, efektif, efisien, diterima atau menguntungkan, maka pemimpin itu akan dianggap berhasil, bahkan bisa didemo atau diberhentikan.

Bila dulu, pemimpin mengambil keputusan secera heuristik atau tanpa menganalisis secara cermat data atau informasi. Sekarang, dengan semakin kompleknya organisasi, PK harus berdasarkan analisis yang cermat. Ini menempatkan PK adalah pekerjaan penting dari setiap pemimpin untuk mewujudkan tujuan dari organisasi atau lembaga yang dipimpinnya. PK adalah pekerjaan pikiran yang sama pentingnya dengan tindakan.

Agar keputusan yang diambil tidak merugikan dan menimbulkan resistensi (penolakan), para pemimpin harus mengambil keputusan cermat dan tepat mencapai tujuan organisasi, serta memuaskan. Hanya saja, untuk mengambil keputusan yang tepat dan memuaskan semua orang bukanlah pekerjaan mudah, dan riskan sekali untuk salah. Pemimpin harus memutuskan masa depan dengan informasi seadanya, dan informasi itu diperoleh dari kondisi sekarang ini. Karena itu, seringkali muncul kondisi yang paradoks. Pemimpin menurut Salusu (2003) harus memilih antara dua hal; hampir benar atau yang mungkin salah.
B. MASALAH

Agar keputusan menghasilkan sesuatu yang positif atau menguntungkan, maka keputusan yang diambil hendaknya tepat mewujudkan tujuan organisasi yang bersangkutan. Dalam proses PK diperlukan informasi, pengetahuan, pengalaman, serta scanning, atau analisis lingkungan. Para pemimpin perlu mempertimbangkan, memikirkan dan kemudian baru mengambil keputusan secara First Think First, memilih yang terbaik dari pilihan yang baik. mengutamakan sesuatu yang lebih utama dari sejumlah yang utama. Atau dengan kata lain, first think first dimaksudkan adalah bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan di tengah kondisi yang paradok.

Beberapa hal yang paradoks dalam persoalan makalah ini akan difokuskan bagaimana pemimpin bisa mengutamakan yang lebih utama itu, first think first, antara lain:

1. Bagaimanakah menempatkan antara kekuatan individu dengan kekuatan kelompok dan lingkungan

2. Bagaimanakan solusi tarik menarik kepentingan individu dengan perubahan ?

3. Teori keputusan manakah yang adaptif di tengah perubahan yang cepat ini ?

4. Apakah benar nilai sosial budaya, kebiasaan, dan religi menghambat PK?

5. Bisakah keputusan profesional dijadikan skala prioritas dalam membuat program ?

6. Manakah aspek dominan dalam mengambil keputusan ditengah persaingan bebas

Semua jawaban atas persoalan ini dirangkum dengan judul makalah Mengambilan Keputusan dalam Kondisi Paradok



C. MEMPERTIMBANGANKAN KEKUATAN INDIVIDU KELOMPOK DAN LINGKUNGAN

Pekerjaan pemimpin adalah mengambil keputusan, oleh karena itu penting bagi setiap pemimpin memiliki kemampuan dan keterampilan untuk membuat keputusan yang tepat bagi lembaga, institusi atau organisasinya. Namun dalam mengambil keputusan, kemampuan individual pemimpin ini sering kali dihadapkan kepada dinamika kelompok dan lingkungannya. Bagaimanakan seharusnya menghadapi paradoks ketiga aspek ini ?

Bila dilihat dari sudut kepentingan antara dinamika individu pemimpin, dengan dinamika kelompok dan lingkungan agaknya yang sulit disatukan. Bahkan tidak jarang terjadi, ketiga unsur itu bagaikan bertolak belakang. Akan tetapi, ketiga aspek ini sering kali masuk jauh ke dalam proses PK dalam organisasi.

Dari banyak penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa faktor bawaan, pengalaman masa kecil, pendidikan formal, dan pengalaman karier sangat menentukan proses atau hasil keputusan yang diambil seorang pemimpin (Salusu, 2003). Namun faktor tersebut tidaklah bersifat kaku dan linear. Bagi pemimpin yang sudah berpengalaman, tidak tertutup kemungkinan ia dapat melahirkan keputusan yang tepat, meskipun keputusan diambil tanpa melalui analisis mendalam, dan hanya berdasarkan kesan, pemahaman, atau kesimpulan dari berbagai pengalaman yang telah lama, atau bersifat heuristik.

Meskipun faktor individual pemimpin sangat dominan dalam PK, akan tetapi pengaruh itu tidak bersifat statis. Faktor individual akan bekembang mengikuti dinamika kehidupan pribadi pemimpin yang bersangkutan. Oleh karena itu, PK tidak mungkin terlepas dari pengaruh dinamika individual sang pemimpin. Dinamika individu itu dapat disebabkan oleh aspek emosional yang bersangkutan saat itu, seperti senang atau marah. Tetapi juga dapat dipengaruhi oleh informasi yang diterima atau pengalamanan gagal atau sukses yang pernah dialaminya.

PK yang didasari oleh kemauan individual saja, sering kali merugikan lembaga atau menghasilkan penolakkan. Kotter (1999), mengingatkan bahwa pemimpin yang tidak peduli dengan situasi lingkungan justru bisa membawa bencana bagi organisasinya.

Oleh sebab itu, dalam PK, setiap pemimpin perlu memperhatikan dinamika kelompok dan lingkungan. Sebab dalam organisasi (apalagi dalam organiassi profit), kekuatan kelompok (seperti pemegang saham) justru sangat dominan dalam menentukan arah kebijakan organisasi. Kelompok penentu kebijakan bisa bersifat infra maupun supra struktur dalam organisasi.

Disamping dinamika kelompok, juga perlu diperhatikan adalah dinamika lingkungan, yaitu sesuatu yang berada di luar (eksternal), tetapi memiliki kaitan langsung atau tidak langsung dengan organisasi. Seperti yang terkait dengan masukan (input), instrumen proses, serta pengguna hasil (out-put), misalnya pemerintah, suplier, distributor dan leveransir.

Untuk menghadapi kondisi yang demikian, seorang pemimpin dituntut untuk melaksanakan first think first, memprioritaskan yang amat penting dalam PK. Untuk bisa memprioritas yang benar-benar penting, ada dua strategi first think first yang dapat dilaksanakan oleh pemimpin, yaitu: 1) optimasi atau pertimbangan jelimet, dan 2) kepuasan (satisfacing) atau mengutamakan kepuasan yang lebih banyak meskipun dengan rasionalitas terbatas. Dimaksud dengan pertimbangan jelimet adalah bahwa pemimpin menganalisis secara benar seluruh alternatif keputusan dengan memperhitungkan untung-rugi masing-masing alternatif itu secara teliti. Sementara kepuasan maksudnya pemimipin memilih alternatif yang dianggap paling memuaskan, dan tidak perlu melelahkan sampai menganalisis secara detail (Salusu,2003)

Namun, bila petentangan itu masih sulit diatasi dengan cara di atas, disebabkan karena ketiga aspek; dinamika individu, kelompok, dan lingkungan tersebut paradok pada posisi yang sama kuatnya, mungkin keputusan saling mengabaikan salah satu diantaranya, bisa benar atau salah, atau keputusan diambil terhadap hal yang belum tentu benar atau salah, yang sering disebut sebagai daerah kelabu (grey area) maka pemimpin dapat menempuh solusi first think first dengan melakukan pertimbangan etis.

Pertimbangan etis menuntut pemimpin untuk mengambil keputusan dengan mengacu kepada aturan-aturan etis atau atas dasar prinsip, norma, atau standar baku dalam organisasi atau masyarakat. Penerapan pertimbangan etis ini juga memperhatian prinsip utilitas, yaitu bahwa alternatif yang dipilih sudah menjadi terbaik dari alternatif yang ada, berdasarkan pertimbangan kondisi saat itu serta tujuan organisasi.

D. TARIK MENARIK KEPENTINGAN INDIVIDU DAN PERUBAHAN
Dalam PK, faktor individu pemimpin dan tuntutan perubahan terkadang sulit dipersatukan. Untuk menyesaikan tarik menarik antara kedua faktor ini, individu dengan tuntutan perubahan, diperlukan cara yang tepat. Bagaimanakah penerapan first think first dalam mengatasi kondisi ini? Inilah yang dicoba diungkapkan di bawah ini !

Keengganan seseorang menerima atau melaksanakan perubahan sering kali didominasi oleh pemahaman, penilaian, serta prakiraannya akan konsekuensi yang merugikan bagi pribadinya. Kondisi ini tidak hanya dialami dalam kehidupan pribadi tetapi juga berlaku dalam pengambilan keputusan organisasi.

Wibowo (2006) telah menghimpun faktor resistensi individu pemimpin terhadap perubahan, antara lain pandangan Grenberg & Baron, yang menyatakan bahwa ada 5 macam faktor resistensi pemimpin terhadap perubahan, yaitu: 1) ketidak-amanan ekonomis, 2) ketakutan yang tidak diketahui, 3) ancaman terhadap hubungan sosial, 4) kebiasaan, dan 5) tidak mengenal kebutuhan untuk berubah. Robbin dalam bukunya Organization of Behaviors (2006) mengillustrasikan pula adanya 5 faktor yang hampir sama, tapi ia mengganti faktor kelima dengan proses informasi selektif (slective information processing),

1. Kebiasaan (habits)

Kebiasaan yang dimaksud disini adalah cara yang biasa dilaksanakan. Seringkali perubahan berimbas kepada perubahan kebiasaan (habits) individu pada bidang lainnya, yang mungkin mencemaskannya. Akibatnya, seseorang menolak perubahan justru lebih disebabkan karena enggan merubah kebiasaan (habits) tersebut meskipun mereka mengakuinya sesuatu yang lebih baik.

2. Keamanan (security)

Bila perubahan dipandang justru menimbulkan ketidak pastian dan berdanpak negatif terhadap kemapanan, keamanan dan kelangsungan masa depannya, maka seseorang cenderung menolak perubahan itu.

3. Faktor ekonomis (economic factor)

Keengganan seseorang menerima perubahan dapat terjadi bilamana terjadi penurunan pendapatan, seperti upah atau membutuhkan biaya tambahan, sehingga berakibat kepada penurunan nilai ekonomis. Misalnya penurunan upah, gaji, honor atau biaya tambahan, ekstra.

4. Ketakutan yang tidak jelas (fear of the unknown)

Takut atau cemas akan terjadi ketidak-stabilan atau ketidak-seimbangan antara suatu kekuatan yang mungkin ditimbulkan oleh suatu perubahan justru seringkali seseorang menolak untuk menerima perubahan.

5. Proses Informasi Pilihan (Selective Information Processing)

Seringkali orang suka mendengar informasi yang diinginkannya dan enggan untuk memproses informasi yang tidak berkenaan dengan keinginannya. Akibatnya, energi seorang pemimpin lebih banyak dicurahkannya kepada proses informasi untuk mempertahankan keputusan, dan menolak infomasi tentang perubahan, akibatnya ia bersikukuh dengan pendapat tersebut dan menolak untuk melakukan perubahan
Karena perubahan tidak mungkin dihentikan, maka pemimpin justru hendaknya menerima perubahan itu sebagai peluang positif bagi institusinya. Langkah first think first dalam menghadapi kondisi ini hendaknya diawali dengan bersikap adaptif dan visioner. Bersikap adaptif artinya menerima dan memanfaatkan kondisi perubahan untuk memajukan institusinya, sedangkan visioner adalah membuat perhitungan yang jauh ke depan mendahului perubahan yang akan (mungkin) terjadi.

Strategi first think first yang bisa menopang sikap adaptif dan visionner ini, menurut Anwar (2007), hendaknya pemimpin mendorong dirinya dan anggotanya menjadi kreatif, sensitif, belajar dengan gigih, memulai pekerjaan dari yang mudah, memperluas jaringan kerja sama, dan akselerasi.

1. Kreatif

Kreatif adalah keberhasilan melahirkan sesuatu yang baru dengan memanfaatkan pengetahuan, bahan, atau sesuatu yang telah ada. Kreatif menurut Semiawan (2001) maupun Supriadi (1994). bisa berbentuk produk, proses, press, dan person Dalam kaitan ini, pemimpin yang disebut kreatif adalah yang mampu menciptakan suatu produk baru lain dari yang lain (hasil), menciptakan suatu sistem yang memudahkan proses kerja (proses), berjiwa menerima pembaharuan (press), serta menjadi sebagai sosok pribadi yang selalu berhasil mencari solusi untuk menghadapi sesulit apapun permasalahan (person).

2. Sensitif bagaikan Kupu Kupu

Agar pemimpin bisa menyelesaikan paradok antara tututan perubahan dengan faktor individualitasnya, perlu pemimpin memiliki sikap yang sensitif terhadap perasaan bawahan atau anggotanya. Sikap sensitif bukanlah menjadikan dirinya mudah tersinggung, tetapi menempatkan dirinya menjadi orang yang peka dengan kondisi orang lain. Cepat tanggap atau bisa menempatkan diri pada diri orang yang dalam psikologi seringkali disebut dengan sikap empathy. Bagaikan kupu yang hinggap dibunga, ia bisa hinggap tanpa membuat jatuhnya kelopak bunga, bahkan semut yang adapun tidak terusik, sehingga memungkinkan ia melakukan langkah adaptasi dan antisipasi terhadap perubahan yang terjadi.

3. Belajar seperti laron

Long life education, Pendidikan Sepanjang Hayat (PSH) tidaklah milik kalangan akademik semata. Pemimpin, bahkan setiap orang yang ingin berhasil dalam kehidupan, harus melaksanakan PSH ini. Bila kaum akademis belajar melalui pengajaran, buku dan penelitian, maka pemimpin bisa menggunakan pengalamannya sebagai tempat belajarnya. Artinya, disamping membaca buku, sumber belajar yang terpenting dari seorang pemimpin adalah pengalaman dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari. Setiap kali ia selesai menyelenggrakan kegiatan, baik berhasil atau tidak, ia hendaknya segera melakukan refleksi dalam rangka menemukan pemahaman; Mengapa berhasil atau gagal. Apa faktor pendorong atau penghambat? Sumber daya mana yang bisa dipadukan agar bisa menemukan yang lebih baik lagi ? serta berbagai pertanyaan lainnya. Lihatlah laron, bilamana sayapnya lepas, ia masih terus mengembara dengan menggunakan kakinya.
4. Bekerja: Dari yang mudah ke yang sulit

Tak terbayangkan, kemajuan teknologi komunikasi seperti HP (handphone) ternyata berhasil menguakkan keterbatasn ruang dan waktu. Seorang pimpinan yang ada di USA bisa berbicara dengan salah satu direksinya di Bandung sambil menatap pandang, kayaknya berhadapan, meskipun pisik mereka dibatasi oleh benua. Keberhasilan teknologi ini bukanlah sekali jadi, tetapi dimulai dulu dengan temuan kecil: radio, listrik, batrai, audio, film, telefon, komputer dan temuan lainnya. Jadi, HP bukanlah sekali jadi, tetapi berasal dari temuan kecil dan mungkin sekali terlepas atau terpisah-pisah, tapi sangat berarti bagi ditemukannya HP.

Begitu juga halnya dalam organisasi, tiada pekerjaan yang besar tanpa harus memulainya dari yang kecil (inkremental) Seberat apapun tugas atau beban pekerjaan yang harus diselesaikan, asal hari ini bisa diguyur dan diselesaikan meskipun kecil, toh akhirnya pekerjaan besar akan terasa ringan. Small is beautiful, istilah yang dipopulerkan Schumacher melalui judul bukunya, agaknya memungkinkan pemimpin dapat mewujudkan pola First Think First dalam mengadaptasi perubahan maupun kepentingan dirinya.

5. Perluasan Jaringan Kerjasama

Ceritera Robinson Crusso, si manusia yang hidup ditengah serigala, tidak mungkin ditemukan dalam bidang organisasi. Setiap organisasi menerima pengaruh dari pihak luar, seperti hanya sebuah pabrik, menerima bahan baku (input) dari luar dan setelah menjadi produk (out put) akan melemparnya ke luar lagi. Bahkan dewasa ini, proses yang selama ini dianggap sebagai Black Box System (Sistem Kotak Hitam), ternyata telah ditinggalkan, dan sekarang menuntut setiap lembaga akuntabel dan transparan bagaikan rumah kaca.


Oleh sebab itu, jaringan kerja sama antar organisasi sangat diperlukan. Tidak hanya dengan stokeholder, tetapi dengan berbagai pihak termasuk jaringan kerja internal maupun eksternal. Kerjasama itu bisa dilakukan dengan menggunakan berbagai modus guna memanfaatkan perubahan yang terjadi. Mulai dari yang kecil atau sederhana sampai yang canggih dan komplek. Seperti pengembangan komunikasi interpersonal, pengembangan jaringan melalui media cetak, (koran,majalah, jurnal) media ekektronik (radio, telpon, tv, internet), atau melalui jalur organisasi seperti pertemuan, seminar, forum dsbnya.
Jaringan kerjasama ini, akan memudahkan proses fisrt think first bagi pemimpin dalam pengambilan keputusan. Tuntutan akan perubahan sebagai akibat jaringan yang luas akan mudah diakomodir dan diadaptasi kepentingan individu maupun dengan tuntutan perubahan yang terjadi. Atau dengan kata lain, dengan membangun jaringan yang luas akan dapat mengurangi kondisi pradok diantara tuntutan perubahan dengan kepentingan individu .
6. Akselerasi

Untuk mengantisipasi perubahan yang tengah dan akan berlangsung, pemimpin setiap organisasi perlu melakukan langkah-langkah yang bersifat adaptif, atau oleh Tofller (1989) disebut dengan akselerasi. Dalam salah satu buku terlarisnya yang ditejemahkan dalam banyak bahasa termasuk Bahasa Indonesia "Perusahaan Adaptif" ia menggambarkan betapa organisasi terutama dunia usaha setiap hari harus memperhatikan gerak maju masyarakat yang cenderung menjadi semakin selektif dan variatif.

Karena dunia selalu berubah, tidak abadi, maka perubahan itu justru jadi abadi. Selalu melakukan usaha akselerasi akan mendorong pemimpin untuk siap dan bahkan amat peduli dengan perubahan. Kondisi ini akan bisa mengeliminasi paradok antara kepentingan individu pemimpin dengan tuntutan perubahan.


Perubahan telah menjadi kebutuhan dalam berbagai kehidupan, termasuk dalam organisasi. Dalam konteks First Think First, pemimpin seyogyanya mengambil keputusan yang mampu mengantisipasi perubahan ketimbang menyesuaikan diri dengan perubahan. Pemimpin yang First Think First hendaknya menggunakan perubahan yang tengah terjadi dengan membuat keputusan yang strategis, visioner atau berwawasan jauh ke depan sehingga dapat mendahului arah perubahan yang tengah bergulir. PK hendaknya tidak dipandang sekedar kebutuhan, tetapi hendaknya ditempatkan sebagai kekuatan yang harus dimanfaatkan guna mewujudkan tujuan organisasi, demikian dipesankan oleh Barron (Wibowo,2006)


E. TEORI YANG ADAPTIF DENGAN PERUBAHAN
Kewajiban untuk mengambil keputusan terdapat disemua lini pemimpin organisasi atau lembaga, baik besar atau kecil, profit atau non-profit. Setiap saat pemimpin harus mengambil keputusan guna mewujudkan tujuannya Sifat keputusan itu mulai dari yang sederhana (operasional) sampai kepada yang kompleks (strategis), dari yang mungkin rutin sampai kepada yang extraordinary, unik, dan tak terprogramkan.

Keputusan bukanlah hasil, tetapi sebenarnya merupakan sarana atau mekanisme organisasi dalam rangka mewujudkan tujuannya. Keputusan masih merupakan pekerjaan pikiran untuk memilih sesuatu yang akan dilakukan. Setelah pekerjaan pikiran ini selesai barulah diambil tindakan atau implementasi keputusan. Meskipun PK dan implementasi adalah dua hal yang berbeda, PK adalah pikiran dan implementasi adalah perbuatan, akan tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Keputusan baru akan berarti bila diikuti dengan implementasinya atau tindakan. Bukanlah keputusan namanya, bila tidak diikuti dengan tindakan

Kehidupan organisasi sama dinamisnya dengan kehidupan masyarakat. Setiap saat selalu terjadi perubahan akibat tuntutan hidup. Perubahan terjadi dalam segala lini kehidupan, mulai dari kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat, sampai kepada kehidupan organisasi Namun tidak jarang perubahan membawa konsekuensi yang paradok dengan kepentingan seseorang, termasuk dalam pengambilan keputusan.

Perubahan yang terjadi dalam era globalisasi sekarang, menurut Toffler (1989), semakin cepat dan seakan-akan tidak teramati dengan mata lagi. Kejadian di suatu benua akan menimbulkan pengaruh cepat dan luar biasa pada belahan dunia lainnya. Misalnya, perang, kebakaran kilang minyak, atau laporan lembaga keuangan, segera disambut dengan revisi harga minyak dunia, atau nilai tukar mata uang yang dampaknya sampai ke desa yang mungkin sekali berada di pedalaman

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan itu sangat banyak, bahkan Wibowo (2006) mengutip berbagai pandangan ahli tentang faktor-faktor yang menimbulkan perubahan itu. Sekurang-kurangnya ada 8 (delapan) faktor yang dominan; antara lain adalah: (1) kemajuan teknologi, (2) semakin intensifnya persaingan, (3) semakin cerdas dan banyaknya tuntutan konsumen, (4) perubahan pasar dan kejutan ekonomi, (5) tekanan sosial dan politik, (6) pergeseran demokrafis penduduk, (7) kesenjangan tenaga kerja, dan (8) kebijakan pemerintah dan privatisasi

Karena itu, perubahan tak bisa dihambat, apalagi untuk distop. Siapapun, di manapun dan dengan kekuatan apapun, termasuk pemimpin atau menejer manapun juga, tidak akan berhasil mengehentikannya Konsekuensinya, tak ada satupun negara dan organisasi yang bisa menutup diri dari perubahan itu. Mengisolasi diri dari perubahan sama halnya dengan bunuh diri, karena akan tertinggal dan dikalahkan oleh persaingan atau kompetitornya.

Perubahan dan keputusan saling pengaruh-mempengauhi. Keputusan diperlukan karena adanya perubahan, namun sering kali perubahan tercipta karena adanya keputusan. Keputusan karena perubahan atau keputusan untuk perubahan adalah dua hal yang berbeda. Secara konseptual, keduanya bisa dipisahkan. Yang pertama adalah bersifat penyelesaian masalah dan sering dilakukan oleh menejer, sedangkan yang kedua adalah bersifat strategis dan visioner dan dilakukan oleh pemimpin. Namun keduanya memerlukan PK. Artinya, setiap tahap dari penyelesaian masalah maupun dalam pengambilan keputusan yang bersifat penyelesaian masalah atau strategis sama-sama berkepentingan dengan PK.

Dalam pengambilan keputusan dikenal berbagai macam teori, dintaranya adalah 1) teori birokrasi, 2) scientific, 3) sistimatic analysis, 4) planning anticipating, 5) human relations, dan 6) pengambilan keputusan komprehensif (Salusu). Bahkan juga ada yang disebut dengan 7) teori black box system.

Disebut teori birokratik karena keputusan menggunakan jalur atau jenjang birokrasi. Disebut scientific dijabarkan dalam konseptual yang logis dan teoritis terlebih dahulu dalam indikator yang kecil. Analisis Sistimeatis adalah keputusan diambil berdasarkan analisis dengan menggunakan formula tertentu. Planning anticipating adalah merancang dulu kegiatan untuk mengtasipasi kondisi mendatang. Human relations mendahulukan hubungan kemanusiaan seperti kepuasan kerja. Sedangkan analisis sistem bermaksud melihat organisasi suatu sistem yang terdiri dari komponen sistem, dan saling berkaitan dengan sistem lainnya.

Namun kesemua teori ini sebenarnya berangkat dari dua sifat yang berbeda, yaitu penyelesaian masalah atau bersifat strategis. Teori birokrasi, rutin, repitif, sistimatis, adalah bentuk keputusan yang bersifat penyelesaian masalah. Sedangkan sifat yang strategi dapat diwakili oleh planning anticipating, human relations, dan pengambilan keputusan komprehensif.

Dari berbagai teori ini, strategi first think first untuk mengatisipasi perubahan adalah dengan memandang perubahan sebagai suatu tantangan yang perlu diatasi dan diantisipasi. Usaha itu dilakukan dengan mengambil keputusan yang bersifat strategis, visioner atau berwawasan jauh ke depan, yang dimulai dengan mengembangkan bersama visi dan misi, melakukan scanning lingkungan internal dan eksterna, menghimpun alternatif, memilih atau mengambil keputusan, implementasi serta pengawasan dan evaluasi.

Karena, keputusan stratejik adalah langkah yang bersifat visioner, utuh, dan faktual. Ia mengggantung cita ke langit kakinya masih tetap berpijak di bumi (Akdon, 2006) atau bagaikan sutradara (Starratt,2007) tidak saja bisa mengantisipasi tetapi sekurang-kurang menempatkan semua anggota dalam organisasi untuk siap melakukan perubahan. Dibandingkan teori lain, keputusan yang stratejik akan bisa mengakomodir kekuatan atau keunggualan dari teori yang lain, sementara berbagai kelemahan atau kekurangan akan bisa diwaspadai kalaupun tidak bisa untuk dieliminasi.


F. PARADOK PENGARUH NILAI BUDAYA & RELIGI DALAM PK
PK adalah pekerjaan sekarang yang hasilnya dirasakan setelah sekian lama keputusan itu diimplementasikan. Meskipun memiliki data dan informasi yang cukup, masa datang hanya bisa diprediksi, namun tak bisa dipastikan. Sebab, mempertimbangan informasi yang diperoleh sekarang tidak selalu akurat untuk memprediksi masa depan. Penyebab yang kecil dan mungkin tidak terduga, justru bisa membelokkan arah organisasi.

Oleh sebab itu tidak sedikit pemimpin yang takut atau mikir-mikir dalam waktu lama untuk mengambil keputusan. Dalam lembaga formal seperti pemerintahan maupun lembaga privat, seringkali kondisi ini dijumpai, pemimpin menahan diri dari pada harus cepat-cepat memutuskan menerima atau menolak, sampai ia yakin bahwa keputusan yang akan diambil itu tidak berimplikasi negatif terhadap dirinya; baik dalam hubungan dirinya dengan atasan maupun dengan bawahan serta stakeholders yang terkait dengan keputusan itu.

Pertimbangan semacam inilah yang memberi peluang masuknya faktor nilai, budaya, religi dan kebiasaan sebagai salah satu saringan yang mempengaruhi proses PK dan implementasinya. Tidak jarang terjadi, pertimbangan yang strategikpun bisa dikalahkan bilamana tidak sesuai dengan faktor nilai, budaya, religi dan kebiasaan. Kalaupun tidak membatalkan, paling tidak akan terjadi penundaan, seperti kasus penundaan undang-undang lalu lintas yang terjadi di zaman Soeharto lalu.

Nilai, budaya, kebiasaan dan religi yang berkembang pada masyarakat dan pemimpin memiliki pengaruh besar dalam proese PK maupun implementasinya. Dalam proses PK, terutama bila berhadapan dengan situasi harus memilih, maka ada kecenderungan pemimpin memilih alternatif yang dianggapnya sesuai dengan nilai, budaya, kebiasaan dan nilai-nilai agama. Begitu juga dalam implementasinya, bila dalam pelaksanaanya dirasakan memiliki hal yang kontradiksi dengan nilai, budaya,kebiasan dan agama, maka suatu keputusan kemungkinan ditangguhkan atau dibatalkan.

Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1997) menjelaskan pengaruh nilai, budaya dan kebiasaan dan agama dalam setiap tahap proses pengambilan keputusan. Dalam menetapkan sasaran, pertimbangan tata nilai mesti dibuat saat memilih alternatif dan menetapkan prioritas. Dalam mengembangkan alternatif, pertimbangan tata nilai tentang berbagai kemungkinan yang dibutuhkan dan pengambil keputusan akan cenderung memilih yang cocok dengan tata nilainya. Memilih alternatif, sistem tata nilai pengambil keputusan mempengaruhi alternatif yang dipilih dan mendorong ia memilih tata nilai yang dipegangnya kendatipun ada kelemahan dari lainnya. Implementasi keputusan, pertimbangan sistem tata nilai akan memberi prioritas untuk nilai yang diharapkannya. Bahkan sampai saat melaksanakan kontrol dan evaluasi, tata nilai akan mempengaruhi standar penilaiannya.

Sementara di pihak lain, pemimpin bekerja bukanlah untuk dirinya, tetapi adalah untuk lembaga atau organisasi yang dipimpinnya, yang besar kemungkinannya terdiri dari berbagai kepentingan. Sehingga tidak tertutup munculnya standar nilai, norma, kebiasaan serta religi yang berbeda.

Untuk mengatasi hal yang paradoks ini, strategi first think first yang bisa diterapkan agaknya bisa mengikuti pandangan Herbert Simon yang mengutamakan satisficing (kepuasan). Untuk menemukan kepuasan itu, pemimpin perlu menghindari atau mengeliminasi keputusan yang bersifat ekstrim bertentangan dengan nilai, norma, kebiasaan dan agama, tetapi mendahulukan keputusan mengutamakan nilai kebersamaan antara nilai individu pemimpin itu sendiri dengan nilai kelompok kepentingan tersebut. Artinya, pemimpin harus menghindari bila keputusan dan proses implemntasinya akan bertentang secara ekstrim dengan nilai, norma dan kebiasaan serta sistem religi masyarakat. Sebab, tidak jarang terjadi keputusan yang baik, tidak dapat mencapai sasarannya bila menimbulkan dampak luar biasa terhadap nilai, budaya, kebiasaan, dan religi masyarakat. Kasus internet masuk sekolah yang tengah digulirkan oleh Mendiknas, mungkin akan menjadi contoh nyata dari hal ini.


G. KEPUTUSAN PROFESIONAL UNTUK SKALA PRIORITAS SUATU PROGRAM

Bila dulu, dalam lembaga tradisional, orang lebih mengutamakan tindakan dari pada proses pengambilan keputusan, namun sekarang keduanya dianggap sama pentingnya. Oleh sebab itu, guna mengembangkan aksi tindakan atau program perlu mempertimbangkan cara keputusan diambil. Bagaimana menyikapi hal ini, khususnya menyangkut persoalan skala prioritasnya?

Bisakah pertimbangan keputusan profesional dijadikan skala prioritas dalam membuat program ?

Pemimpin dan Menejer dapat dibedakan atas keputusan yang dihasilkannya. Keputusan yang bersifat terprogram atau rutin dan sejenisnya biasanya menjadi tugas menejer. Sementara keputusan yang tak terprogram, unik, khusus, dan strategis dihasilkan oleh pemimpin. Ini hanyalah peran, tidak berarti kedua orang tersebut harus hadir dalam suatu institusi. Seseorang pemimpin, dalam suatu waktu bisa berperan sebagai menejer dan sekali waktu berperan sebagai pemimpin.

Untuk menyelenggarakan program, para pemimpin dewasa ini perlu melakukan analisis yang komprehensif terhadap berbagai langkah atau tahapan sebelum sampai kepada suatu keputusan. menurut Anwar (2007) langkah-langkah pengambilan keputusan ada 7 tahap, yaitu: 1) identifikasi dan pemahaman masalah, 2) pengumpulan dan analisis informasi, 3) penyusunan alternatif, 4) analisis tingkat konsekuensi/resiko, 5) pemilihan alternatif terbaik, 6) evaluasi alternatif, dan 7) implementasi keputusan..

Dalam menjalani tahapan pengambilan keputusan ini, diperlukan keterampilan untuk menyesuaikan setiap tahapan itu dengan sifat masalah, waktu yang tersedia, dukungan dana serta profesionalitas dalam pengambilan dan pemilihan keputusan. Keterampilan yang demikian akan semakin dirasakan urgensinya bila mana berhadapan dengan keputusan yang tidak terprogram, atau dalam pengambilan keputusan yang stratejik.

Untuk memutuskan suatu program kegiatan, pemimpin hendaknya mengutamakan yang utama atau bertidak secara first think first, dengan cara mengusahakan semaksimal mungkin melakukan pendekatan pengambilan keputusan yang profesional disat program itu dirancang. Hal ini tentu saja pemimpin mengkaji ulang secara cermat tahap demi tahapan sebelum memutuskan.


H. MENGAMBIL KEPUTUSAN DI TENGAH PERSAINGAN BEBAS

Salah satu ciri dari globalisasi sekarang ini munculnya tuntutan kebebasan pasar, dan mendorong terciptanya kompetisi secara sehat diantara lembaga profit bahkan juga lembaga-lembaga non-profit. Bagaimanakah tantangan ini bila dikaitkan dengan PK, aspek manakah yang perlu mendapat perhatian ?

Dalam menghadapi persaingan bebas dewasa ini, setiap organisasi baik profit maupun non profit, dituntut untuk meningkat mutunya dalam artian yang luas. Namun mutu itu sendiri sangat abstrak dan subjektif. Karena ukuran mutu bukan saja ditentukan dengan kuantitatif, tetapi juga ditentukan oleh kepuasan subjektif dari stakeholders (konsumen atau pengguna jasa, atau pemasok, distrubutor, pemerintah, masyarakat sekitar, pers, atau pihak lain terkait) bahkan pihak internal (menejer lini, pemilik, pendiri, pemegang saham, karyawan dan keluargnya). Karena sifatnya yang subjektif ditambah lagi dengan keragaman kepentingan stakeholders, maka ukuran mutu hendaknya tidak ditentukan oleh pemimpin, tetapi justru dilihat dari kepuasan dari pelanggan.

Perubahan orientasi mutu dari semula secara sepihak ditentukan pemimpin menjadi mutu yang diorientasikan kepada pelanggan, telah dikembangkan seorang ahli fisika, E. Edwards Deming, dengan istilah TQM (total quality management) dan kemudian diadaptasikan untuk pendidikan oleh Edward Sallis (1993) atau di Indonesia populer dengan MMT (menejemen mutu total).

TQM atau MMT pada prinsipnya mengajak atau mengilhami para pemimpin untuk membina hubungan yang saling memuaskan baik dalam lingkungan internal atau eksternal lembaga, caranya adalah menjadikan aspirasi, kehendak, atau harapan menjadi ukuran mutu. Sehingga akan mendorong terbentuknya citra atau imej yang positif terhadap institusi dan pada gilirannya akan menentukan kelanjutan institusi itu dalam menghadapi kompetitornya.

Dalam menghadapi persaingan bebas, menuntut pemimpin untuk menciptakan keunggulan komperatif atau dalam lembaga profit disebut keungggulan kompetitif. Keunggulan komperatif/kompetitif bukanlah dimaksudkan memenangkan persaingan dengan cara mengalahkan kompetitor, tetapi adalah menjadi lembaga atau institusi pemenang tanpa mematikan kompetitor, sebab kompetitor itu sangat diperlukan dalam kelanggengan suatu lembaga atau institusi, baik profit apalagi non profit. Bila keunggulan justru mematikan kompetitor akan menimbulkan monopoli yang pada saatnya nanti akan menghadapi tantangan internal yang berdampak kehancuran lembaga yang bersangkutan.

Meskipun hal ini terlihat logis dan sederhana sehingga akan terasa mudah dicapai, namun dalam penerapannya di lapangan sebenarnya TQM/MMT memerlukan strategi implementasi yang komprehensif, baik menyangkut pelayanan pemimpin dan anggota terhadap kepentingan semua pihak. Untuk mendukung kualitas yang hendak diwujudkan dalam TQM/MMT mengandung aturan yang oleh Salusu (2003) dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Kualitas berarti setiap orang harus melakukan pekerjaan dengan baik

2) Kualitas muncul dari pencegahan bukan pemeriksaan atau inspeksi. Ini menuntut setiap orang hati-hati jangan sampai berbuat kesalahan

3) Kualitas adalah berarti memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen berarti bahwa harus diketahui, terus menerus dicermati arah dan dinamika keinginan atau harapan pelanggan itu.

4) Kualitas memerlukan komunikasi yang baik, yaitu membina hubungan dan jaringan kerja yang apik dengan pihak dalam maupun luar

5) Kualitas menuntut perencanaan yang stratejik, untuk mengantisipasi jangka panjang, baik dari stakeholders maupun mempertahankan keunggulan komperatif


Mengutamakan mutu yang dapat memuaskan semua pihak, termasuk kepuasan internal lembaga sendiri yang dapat menjadikan organisasi memiliki keunggulan komparatif. Ini adalah strategi peerapan first think first yang harus dipilih setiap pemimpin. Artinya, pemimpin hendaknya mengembangkan citra dari organisasi atau institusinya menjadi institusi atau organisasi terbaik, favorit, unggul, pilihan, dan istilah sejenisnya, baik dalam hasil maupun proses. Citra sebagai lembaga yang unggul itulah yang akan memungkinkan suatu organisasi bisa bertahan di alam persaingan bebas sekarang. Bukankah banyak lembaga atau institusi yang bisa bertahan sampai sekarang karena citra atau merek yang mereka punyai telah menjadi jaminan mutu bagi produknya

I. P E N U T U P

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka berikut ini dapat disimpulkan:

1. Dalam mengambil keputusan sering kali pemimpin dihadapkan kepada polaritas; terima atau tolak, yang kadang-kadang bersifat paradok. Kondisi ini menuntut kearifan dan kecerdasaran agar pemimpin menempatkan prioritas yang tepat, mengutamakan yang lebih utama atau disebut dalam makalah ini dengan strategi first think first.

2. Dalam menghadapi kondisi paradok antara kekuatan individu, kelompok dan lingkungan, pemimpin hendaknya mempertimbangkan kepuasan (satisficing), dan bila masih berada pada daerah kelabu (grey area), maka diperlukan penerapan keputusan etis yang mengacu kepada prinsip, norma, atau standar baku dalam organisasi atau masyarakat.

3. Untuk mengatasi tarik menarik antara kepentingan individu dengan tuntutan perubahan, pemimpin hendaknya mengutamakan keputusan yang adaptif dan visionner; ini menuntut pemimpin menggunakan perubahan sebagai kekuatan untuk perbaikan.

4. Paradoks nilai, norma, kebiasaan serta religi dapat diatasi dengan mengutamakan satisficing (kepuasan). Namun untuk menghasilkan kepuasan itu, pemimpin perlu menghindari atau mengeliminasi keputusan yang bersifat ekstrim. Artinya, pemimpin harus menghindari bila keputusan dan proses implementasinya akan bertentang secara ekstrim dengan nilai, norma dan kebiasaan serta sistem religi masyarakat

5. Dalam menetapkan program, pemimpin hendaknya mengutamakan yang utama atau bertidak secara first think first, dengan cara semaksimal mungkin melakukan pendekatan pengambilan keputusan yang profesional, mengkaji secara cermat tahap demi tahapan proses pengambilan keputusan.

6. Untuk menghadapi persaingan bebas sekarang ini, pemimpin dapat menerapkan TQM dengan memusatkan perhatian bahwa proses dan produk harus memuaskan semua pihak (stakeholders) termasuk internal lembaga sendiri. Lembaga yang memenuhi standar mutu yang memusakan seluruh pihak itu, akan memiliki keungguan komparatif/kompetitif, dan pada gilirannya akan mampu betahan menghadapi persaingan global.



SENARAI PUSTAKA



Akdon. (2006) Strategic Management for Educational Management (Manajemen Stategik untuk Manajemen Pendidikan ). Bandung: Alfabeta



Anwar, Idochi. 2007. Teori dan Proses Pengambilan Keputusan. Handout Perkuliahan. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana UPI



Sallis, E. 1993. Total Quality Managemen in Education. Philadelphia. Kogan Page Educational Management Series.



Salusu, J. 2003. Pegambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta; Grasindo.



Semiawan, S. 2001 Memupuk bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah. Jakarta: Gramedia.



Starratt, Robert J. (2007). Menghadirkan Pemimpin Visioner (terjemahan), Yogyakarta: Penerbit Kanisius



Supriadi, D. 1994. Kreativitas, Kebudayaan dan Perkembangan IPTEK. Bandung; ALFABTA



Toffler.A. (1988). Kejutan Masa Depan. Jakarta: PT Panca Simpati







Minggu, 30 Mei 2010

Kepemimpinan Visioner

A. PENDAHULUAN

Persoalan kepemimpinan, khususnya kepemimpinan dalam dunia pendidikan, adalah persoalan yang selalu menarik untuk dibicarakan. Sebab, pendidikan menyangkut kepentingan banyak orang, kompleks, dinamis sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Selain itu, pendidikan juga bersifat futuristik, dilakukan sekarang untuk mengejar kebaikan masa depan. Karena sifat pendidikan yang demikian, apa yang dilakukan setiap pemimpin pendidikan, justru akan berkaitan dengan kepentingan banyak orang, serta berdampak terhadap masa depan individu, masyarakat dan bangsa.

Oleh sebab itu, meskipun telah banyak teori mengenai kepemimpinan pendidikan berkembang, masih saja persoalan kepentidikan menjadi lapangan yang sangat luas untuk dieksplorasi. Kita masih memungkinkan menggali dan menemukan cara terbaik dalam pengelolaan pendidikan. Akhir-akhir ini, para ahli berhasil mengembangkan dan meluncurkan berbagai model atau gaya kepemimpinan pendidikan dapat memperbaiki pengelolaan institusi pendidikan. Salah satu gaya kemimpinan yang secara kontekstual dinilai relevan dengan dunia pendidikan sekarang adalah kepemimpinan visioner (KV)
Gaya KV semakin terasa urgensinya untuk diterapkan dalam lembaga pendidikan, terutama sekali pada persekolahan, mengingat sekolah-sekolah kita sekarang tengah mendapat hantaman yang dahsyat dari kekuatan eksterna seperti politik, ekonomi, sosial dan kultural yang langsung atau tidak membonceng dalam informasi media masa.

Meskipun kondisi ekstenal itu terkadang bersifat memberi peluang untuk berkembang, namun seringkali justru bersifat menghambat atau paling kurang melahirkan tantangan baru dalam pendidikan kita. Selain itu, dunia pendikan kita juga dihadapkan dengan perubahan kebijakan yang senantiasa tidak diiringi dengan pemahaman yang utuh. Seperti pengaturan pembiayaan serta pergantian kurikulum yang seringkali membuat kebingunan dalam implementasinya. Sehingga mengundang munculnya tanatang internal sekolah.

Pemimpin dalam dunia pendidikan tidak bisa lari dan membebaskan institusinya dari pengaruh luar tersebut, sebab tidak ada seorangpun dalam kehidupan sekarang ini bisa menghentilkan perubahan yang tengah terjadi. Malah ciri kehidupan modern sekarang justru ditandai dengan perubahan tulis Arcaro (1995). Bahkan Satori & Suryadi dalam Ali et.al (2007) menyatakan bahwa tugas dari lembaga pendidikan semakin lama semakin bertambah dan semakin beragam.
Untuk mengatasi masalah itu, pemimpin pendidikan dituntut untuk cepat mengelola secara bijak seluruh sumber dayanya guna melakukan akselarasi atau penyesuaian dengan kondisi luar itu. Sehingga apa yang dilontarkan Tofler (1988) tentang tuntutan akselarasi sudah menjadi kenyataan .

Akan tetapi upaya akselarasi ini belumlah merupakan solusi yang tepat, sebab masih berorientasi kontekstual. Usaha yang mungkin membebaskan dunia pendidikan terhadap pengaruh negatif perubahan tersebut adalah dengan melakukan upaya yang bersifat antisipatif. Mendahului gerak perubahan dengan memilih posisi yang tepat. Pemimpin yang mampu melakukan akselerasi dengan cepat serta mampu melakukan tindakan atisipatif yang tepat seperti inilah yang menjadi tuntutan dalam KV.

B. PENGERTIAN KV

Memahami pengertian KV, tidak mungkin kita bisa melepaskan diri dari pengertian visi. Secara harfiah, arti visi adalah pandangan jauh ke depan. Tapi tidak semua pandangan jauh ke depan adalah visi. Akdon (2006) membatasi arti visi adalah merupakan gambaran tentang masa depan (future) yang realistik dan ingin diwujudkan dalam kurun waktu tertentu. Jadi, adanya unsur realistik yang ingin diwujudkan, membuat visi amat berbeda dengan otopia. Tapi visi tidak sama dengan misi. Visi bersifat lebih substantif dari misi.

Untuk memahami arti visi, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dari visi. Akdon (2006) mensyaratkan kriteria visi itu sebagai berikut:

1. Visi bukan merupakan fakta, tetapi gambaran pandangan ideal masa depan yang ingin diwujudkan

2. Visi dapat memberi arahan mendorong anggota organisasi untuk menunjukkan kinerja yang baik

3. Dapat menimbulkan inspirasi dan siap menghadapi tantangan

4. Menjembatani masa kini dan masa mendatang

5. Gambaran yang realistik dan kridibel dengan masa depan yang menarik

6. Sifatnya tidak statis dan tidak untuk selamanya

 
Namun kriteria ini masih bisa kita tambahkan lagi, misalnya bahwa visi hendaknya memperhatikan kondisi dalam dan luar institusi, atau menunjukkan penghargan atau rasa hormat kepada internal maupun eksternal lembaga. Sedangkan kepemimpinan menurut Gibson et.al (1997) adalah usaha menggunakan suatu gaya mempengaruhi dan tidak memaksa untuk memotivasi individu dalam mencapai tujuan.

 
Bila visi dikaitkan dengan kepemimpinan, dengan mengadopsi dua pengertian di atas, maka secara singkat, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Kepemimpinan Visoner adalah gaya atau kemampuan seorang untuk menggerakkan orang lain mencapai tujuan organisasi dengan menggunakan cara pandang ke depan yang realistik. Golleman et.al (2006) bahkan lebih menyederhanakan lagi pengertian KV dengan menggerakkan orang–orang ke arah impian bersama.

Sehingga dalam pengertian penulis, KV mengandung dua makna: Pertama KV adalah pemimpin yang memiliki pandangan jauh ke depan. Kedua adalah pemimpin yang mampu membangkitkan inspirasi serta berusaha agar orang-orang yang dipimpinnya bergairah dalam bekerja dan tetap terfokus pada visi institusi.

 
C. KV SEBUAH GAYA KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF

Sejak pertengahan abad 20 lalu, para ahli telah mulai mengeksplorasi pemikiran melalui berbagai macam studi guna menemukan bentuk atau gaya kepemimpinan, termasuk kepemimpinan dalam dunia pendidikan. Masing-masing gaya yang ditemukan itu, tidak terlepas dengan dengan kondisi saat itu. Tahun 1947, Reusis Likert menemukan adanya dua gaya, pemimpin yang berorietnasi kepada pekerjaan versus berorientasi karyawan. Selanjutnya muncul kepemimpinan yang mengutamakan struktur versus yang mengutamakan konsiderasi (Felishman). Gaya kepemimpinan kontigensi (Fiedler), kepemimpinan berorientasi tujuan (Robert J.Honse), kepemimpinan stiuasional (Hersey & Blanchard), kepemimpinan atribusi (Kelley), kepemimpinan karismatik (Jay Conger) Total Quality Managemen (Edward Shill), Kepemimpian transaksional dan transformasional (Brice J.Avalid). dan akhir-akhir ini muncul pula Kepemimpinan Visioner dari Pittman dan Robert J.Starratt

 
Kita tidak bermaksu untuk membandingkan gaya kepemimpinan tersebut dengan KV, karena akan mengundang debat yang tak berkesudahan. Masing-masing gaya kepemimpinan memiliki keunggulan disamping kelemahan. Disamping itu, ada kemungkinan antara suatu gaya kepemimpinan mirip atau saling keterpautan. Oleh karena itu, kita tidak memungkinkan membandingkan diantara gaya gaya tersebut. Agaknya cukup mengutip penilaian Golleman et al. (2006) bahwa KV memiliki dampak paling positif terhadap iklim emosi sehingga bisa menggerakkan orang ke arah impian bersama. Ia menulis

Dari keenam gaya kepemimpinan, penelitian kami menunjukkan bahwa secara keseluruhan, pendekatan visioner inilah yang paling efektif. Dengan terus mengingatkan orang akan tujuan yang lebih besar dari pekerjaan mereka. Pemimpin visioner memberi arti yang lebih besar kepada pekerjaan sehar-hari yang bisa terasa membosankan. Para pekerja mengerti bahwa tujuan bersama itu selaras dengan minat terbaik mereka. Hasilnya adalah kerja yang menggugah. (Golleman et al. 2006). Starratt (2007) mengharapkan, bila KV diterapkan disekolah akan mengarah kepada bentuk Tim Pemimpin Magajer yang dibedakannya dengan pemimpin dan manajer.



D. CIRI CIRI KV

Untuk memahami ciri-ciri KV, dapat dideskripsikan melalui ceritera tentang Bob Pittman, manajer sebuah taman hiburan. Ketika suatu hari ia mendengar keluhan pengunjung karena ulah cleaning servise yang bermuka masam. Ia segera mengambil tindakan penyamaran, menjadi petugas kebersihan itu. Ternyata, secepat ia menyapu secepat itu pula pengunjung membuang sampah, dan taman tampak kotor kembali. Ternyata itulah penyebabnya, banyak petugas memasang muka jeruk purut sebagaimana yang dilaporkan mereka kepada Pittman. Kemudian Pittman mengumpulkan semua petugas kebersihan, menyampaikan bahwa tugas mereka yang paling utama adalah membuat pengunjung merasa nyaman. Membersihkan sampah adalah salah satu cara agar membuat pengunjung nyaman dan karena itu perlu dilakukan dengan ramah. .

Cerita diatas, adalah contoh seorang pemimpin yang berhasil menerapkan gaya KV dalam mengelola taman hiburan. Ia memasukkan visi kenyaman pengunjung kepada petugas kebersihan, karena sejak saat itu, visi ramah telah masuk dalam peran kecil petugas kebersihan. Namun KV bukan hanya terbatas seperti kasus tersebut. Selain keberhasilan memasukan visi dari institusi itu dalam proses, tetapi juga hendaknya berhasil memasukan visi institusi itu dalam pikiran setiap orang atau setiap lini institusi itu. Sehingga setiap petugasnya melakukan kegiatan ia mengenal visi yang ingin diwujudkannya. Bahkan hendaknya, sesudah melakukan pekerjaan, setiap kolega melakukan refleksi degan menjawab sendiri pertanyaan yang diajukannya. Benarkah kegiatan yang saya lakukan sudah sesuai dengan visi ?Apakah faktor yang menghambat atau mendorongnya ?

Memasukkan hal seperti itu kepada setiap orang yang terlibat dalam suatu institusi bukanlah pekerjaan mudah. Untuk bisa menjadi KV maka ada beberapa cara pandangan atau wawasan yang dituntut bagi pemimpin yang ingin menerapkannya. Dengan memperhatikan pandangan Golleman et al. (2006) maupun Starrat (2007) maka setidak-tidaknya KV itu memiliki 5 (lima) ciri .

Memiliki kemampuan untuk menempatkan dirinya menjadi sutradara sekaligus pemain dalam sebuah drama. Artinya, seorang sutradara dan sekaligus pemain dalam drama memiliki pengertian, bahwa pemimpin adalah orang menentukan bentuk plot atau sistem dan mekanisme dari lembaga yang dipimpinnya, dengan menetapkan visi yang ingin dicapainya. Kemudian ia mengatur pelaku sekaligus bila dipelukan dia melibatkan diri sebagai pemain.

Adanya kontrak (perjanjian) yang memandu koleganya mengejar keberhasilan secara profesional. Artinya, setelah visi dijabarkan menjadi kebijakan, program, dan operasi yang berkaitan langsung dengan individu, maka diperlukan adanya perjanjian yang memandu individu tersebut bekerja dengan ikatan moral dan profesional.
Memiliki kemampuan mentransformasi institusi dengan visi yang ingin dikembangkan Artinya adalah memiliki kemampuan untuk menjadikan visi menjadi melembaga, dan mengarahkan setiap aktivitas koleganya, tetapi memberikan peluang munculnya kreativitas ditengah tuntutan keseragaman mencapai visi, atau dengan kata lain, memberi peluang kepada seluruh individu yang dipimpinnnya menjadi dirinya sendiri dalam ikatan visi institusi
Memiliki kemampuan paktik refleksi setiap selesai melakukan pekerjaan. Refleksi adalah proses menganalisis atau merenungkan kembali setiap selesai melaksanakan program. Apakah hasil dari program tersebut masih dapat ditingkatkan serta hambatan dan kekuatan apakah yang ditemukan, sehingga dapat dikenali sifat-sifat khusus dari seluruh program yang pernah dilakukan. Memiliki kemampuan empati. Kemampuan berempati adalah kepekaan untuk merasakan perasaan orang lain dan memahami sudut pandang mereka. Kemampuan ini akan menciptakan pemahanan yang substansif terhadap setiap persoalan yang muncul.
Kelima ciri diatas, disatu pihak dapat difungsikan sebagai pedoman untuk menerapkan KV, tetapi di pihak lain juga dapat digunakan sebagai kriteria menentukan kepemimpinan visioner seseorang
Pentingnya KV dalam Dunia Pendidikan

Sudah tidak diragukan lagi, banyak hasil penelitian yang membuktikan, bahwa gaya kepemimpinan memberi kontribusi nyata terhadapap pencapaian tujuan dari organisasi. Begitu juga dalam bidang pendidikan, pencapaian tujuan institusi pendidikan dipengauhi oleh gaya pimpinannya.

Melihat kondisi dan permasalahan pendidikan kita dewasa ini, yang semakin hari akan semakin kompleks, maka tuntutan tehadap kepemimpinan dalam dunia pendidikan semakin berat. Kita tidak saja dihadapkan kepada persoalan mutu dan pemerataan pendidikan, tetapi sering kali dikaitkan dengan ketimpangan lapangan pekerjaan.
Harapan masyarakat bahwa pendidikan, membawa kemajuan dan perbaikan, telah menjadi bola liar yang sulit dipenuhi. Karena kondisi eksternal lembaga pendidikan yang dinamis sebagai dampak globalisasi, telah menjadikan tuntutan itu semakin lama semakin tinggi dan variatif. Secepat sebuah harapan itu dipenuhi secepat itu pula muncul harapan baru yang lebih tinggi lagi sifatnya.
Tuntutan itu sering kali justru dialamatkan kepada pemimpin, khususnya pemimpin pendidikan. Mulai dari Presiden, Menteri, Kepala Dinas, sampai ke bawah kepada Kepala Sekolah. Agar bisa memenuhi harapan masyarakat dimaksud, tidak jarang terjadi para pemimpin terpaksa mencari jalan gampang, meskipun kadang mengingkari nilai sakral pendidikan itu sendiri. Kasus pemalsuan nilai, kebocoran soal ujian, serta pemberian kunci jawaban menjadi tidak asing lagi dalam dunia pendidikan kita. Meskipun pelanggaran itu diketahui subjeknya, namun karena sudah bersifat politis membuat kita berada dalam Perahu Retak, yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan, dendangan Sahilatua

Untuk mengatasi persoalan pelit dalam dunia pendidikan, nampaknya pendidikan kita membutuhkan lahirnya KV. Karena KV akan mendorong setiap orang yang dipimpinnya memiliki nilai yang berupa visi lembaganya. Nilai-nilai tersebut sudah barang tentu diangkat dari nilai yang fundamental menjadi ciri lembaga atau institusi tersebut.
C. KESIMPUAN

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan

1. Kepemimpinan khususnya kepemimpinan pendidikan akan selalu menarik dibicarakan dan masih terbuka dieksplorasi sehingga bisa ditemukan teori atau gaya yang lebih efektif karena kepemimpinan berkaitan dengan kondisi yang tengah berkembang

2. Pemimpin dalam dunia pendidikan dewasa ini dituntut untuk bisa memimpin lembaganya melakukan akselerasi dan antisipatif terhadap kemungkinan masa depan

3. KV adalah pemimpin yang mampu membangkitkan inspirasi serta berusaha agar orang-orang yang dipimpinnya bergairah dalam bekerja, akan tetapi tetap terfokus pada visi di balik tugas sehari-harinya.

4. Dari berbagai gaya kepemimpinan, maka KV adalah gaya kepemimpinan yang efektif dan memiliki resonansi untuk menggeraklan koleganya bersama-sama menuju tujuan.

5. Ciri dari KV tercermin dalam gaya dan kemampuannya menjadi sutradara sekaligus pemaian dalam sebuah drama mengembangkan kontrak (pejanjian) yang memandu koleganya mengejar keberhasilan secara profesional kemampuan transformasi institusi kemampuan paktik refleksi setiap selesai melakukan pekejaan kemampuan berempati

6. KV sangat mungkin diterapkan dalam dunia pendidikan kita dan diperkirakan dapat mengatasi problem pendidikan yang tengah kita hadapi


 
DAFTAR PUSTAKA
Akdon. (2006) Strategic Management for Educational Management (Manajemen Stategik untuk Manajemen Pendidikan ). Bandung: Alfabeta

Arcaro, J.S. (1995) Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-Prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapannya. (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka pelajar

Gibson, J., Ivancevuch, J.M. & Donnelly Jr. J.H. (1997) Organisasi: Prilaku Struktur Proses (lJilid 2). Jakarta:Binarupa Aksara

Golleman, D., Boyatzis. & Mckee, A . (2006). Primal Leadership: Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan emosi.(terjemahan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Satori, J. & Suryadi. (2007) Teori Administrasi Pendidikan. dalam Kumpulan Karangan Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bandung : Pedagogiana Press.

Starratt, Robert J. (2007). Menghadirkan Pemimpin Visioner (terjemahan), Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Toffler.A. (1988). Kejutan Masa Depan. Jakarta: PT Panca Simpati

Kepemimpinan Visoner

Konseling Psikoanalisa

Konseling Psikoanalisa
oleh Akmal Sutja 

A. Riwayat Hidup Tokoh Psikoanalisa
Psikoanalisis dikembangkan oleh Sigmund Freud. Ia dilahirkan sebagai anak sulung dari keluarga Yahudi, 6 mei 1856 di kota kecil Freiberg, Marovia, Cekoslawakia (dulu masuk kekaisaran Austria). Ketika ia masih balita, Freud kecil diboyong hijrah oleh keluarganya ke Wina dan menetap di sana sampai tua. Ia pindah ke London tahun 1920 ketika Austria dikuasai Nazi.
Freud pada mulanya tertarik pada sains, terutama biologi. Setamat SMA tahun 1873 ia masuk fakultas kedokteran Universitas Wina dan memperoleh predikat dokter tahun 1881. Freud telah bekerja pada lab fisiologi Brueke selagi ia
masih kuliah (1876-1882). Setelah itu ia mengabdi pada RSU Wina untuk menangani bidang anatomi otak (1882-1884), dan beralih sebagai peneliti kokaine (1885-1887).
Desakan ekonomi yang ditimbulkan karena terbatasnya fasilitas untuk keturunan Yahudi di Wina, memaksa Freud membuka praktek dokter sore harinya. Di dalam praktek ini, Freud menemukan jati dirinya, ia mendapatkan banyak tantangan sehingga terdorong untuk melakukan riset dan menulisnya dalam berbagai artikel, sehingga jiwa penyelidikanya menjadi berkembang.
Karena Freud seorang dokter yang telah bekerja pada bagian anatomi otak, ia menjadi tertarik mendalami aspek psikis atau mental dari manusia. Apalagi, Gustav Fechner ahli filsafat kebangsaan Jerman telah mendemontrasikan bahwa jiwa manusia dapat dipelajari secara ilmiah dan diukur secara kuantitatif.
Untuk itu, Freud mulai belajar mendalami gangguan jiwa atau neurosis lewat Jen Charcot, ahli syaraf dari Perancis, yang waktu itu tengah mengembangkan Hipnotis untuk mengatasi kasus-kasus histeria. Tapi Freud tidak puas, karena ia pikir cara tersebut bersifat sementara dan terkesan bersifat magis. Beberapa bulan saja ia telah pamit untuk berpisah dengan Charcot.
Ketika ia mendengar ada cara baru yang dikembangkan Joseph Breuer, menyembuhkan neurosis dengan berbicara atau terkenal dengan teknik talking–out (the talking-out technique), maka Freud segera memburu untuk berkolaborasi dengannya. Kerjasama Freud- Breuer melahirkan buku : Studi tentang Histeria yang mereka tulis berdua dan dipublikasi tahun 1895.
Akan tetapi Freud-Breuer pecah kongsi. Mereka berbeda pendapat dalam menentukan penyebab histeria. Freud menyakini pentingnya analisis faktor seksual, karena itu Freud merasa perlu mengembangkan Metode Asosiasi Bebas (Free Association Method) untuk mengungkap kasus. Breuer menolaknya, dan lebih menekan pada pengungkapan oleh klien dalam keadaan tersugesti secara sadar, dan menganggap faktor seksual sebagai ingatan yang tak disadari saja melalui Talking out.
Perpisahan ini membawa berkah bagi Freud.Sejak itu, dorongan Freud untuk membuktikan kebenaran pandangannya semakin besar. Freud ingin membuktikan sendiri tanpa dibayangi Breuer. Hasilnya, temuan demi temuan Freud menjadi sejarah penting dari psikologi dan terapi di kemudian hari, terutama sekali Psikoanalisa
Sejak perpisahan tersebut Freud berhasil menulis banyak buku, diantaranya : (1) The Interpretation of Dreams tahun 1890, (2) The Psychopathology of Everyday Life, tahun 1904, (3) A Case of Hysteria tahun 1905, (4) Three Esssays of Sexuality, tahun 1905. Serta sejumlah karangan dan artikel lepas yang ditulis Freud dalam berbagai bentuk. Semua tulisan Freud itu, . konon telah dihimpun dalam edisi bahasa Inggris sebanyak 24 jilid.
Freud adalah orang yang kreatif dalam mengembangkan teorinya terus menerus. Di usia “gaek” masih mampu berprestasi. Bahkan menurut Hall (1980) struktur kepribadian id, ego, dan super ego dikembangkan Freud ketika ia telah berusia 66 tahun, yakni tahun 1920. Sehingga Bertens (1979) mengklarifikasikan tahap perkembangan psikoanalisa sbb : (1) Periode I (1895-1905) terbentuknya teori psikoanalisa, (2) Periode II (1905-1920) pendalaman teori psikoanalisa, (3) Periode III (1920-1939) revisi teori psikoanalisa.
Setelah Freud menggelarkan torinya melalui buku-buku yang ditulisnya, membuat nama Freud menjadi kesohor dan menarik minat orang untuk belajar kepadanya. Diantaranya terdapat sederet nama ahli psikologi seperti; C G Jung, Alfred Alder, Ernes Jones, A A Brill, Sandor Jerenzi, Karl Abraham dsb. Walaupun sebagian muridnya (Jung dan Adler) memisahkan diri dari Freud, dan mengembangkan teori baru pula.
Pengakuan akademis diperoleh Freud. Tahun 1909, saat ia mendapat undangan Calvin S. Hall, rektor Universitas Clark kala itu, untuk memberi ceramah di Massachussetts. Begitu menariknya ceramah Freud itu, sejak itu psikoanalisa dimasukan dan menjadi materi perkuliahan pada fakultas kedokteran.
Ketika kota Wina dikuasai oleh Nazi pada Perang Dunia I dan kehidupan orang Yahudi terancam, Freud dapat meloloskan diri secara spektakuler berkat bantuan muridnya Ernes Jones yang berkebangsaan Inggris. Ia menetap di London sampai menghela nafas terakhir 23 september 1939, akibat kanker yang telah dideritanya selama 19 tahun. Kepada kita ditinggalkannya warisan, di samping 6 orang anak dari perkawinannya dengan Martha Bernays tahun 1886, dan seorang putrinya yang terkenal adalah Anna Freud, pelanjut ayahnya. Freud meninggalkan warisan ilmiah yang yang tak terpirikan manfaatnya bagi perkembangan psikologi dan terapi dewasa ini.

B.Prinsip-Prinsip Pokok Teori Freud

Freud orang yang kontradiktif, ia seorang dokter tapi lebih popular dalam psikologi. Dalam literatur kedokteran nama Freud jarang ditemui, tapi literatur psikologi manapun jarang sekali yang tidak merujuk kepada Freud. Bahkan perkembangan dunia konseling saat ini, justru dikembangkan dari pencerahan (baik pro dan kontra) gagasan Freud. Artinya, teori psikologi yang dikembangkan para ahli sekarang pada umumnya kalau tidak merupakan pengembangan, lanjutan, atau pendalaman teori Freud, merupakan penolakkan dari pandangan Freud. Tidak berlebihan kiranya, Psikoanalisa Freud merupakan canang bagi kelahiran konseling atau terapi dewasa ini.
Dalam bukunya, Freud, telah mengulas banyak hal tentang berbagai persoalan kehidupan. Meskipun tidak membuat postulat atau dalil khusus, akan tetapi ada beberapa prinsip yang menurut Bischoff (1977) dan Pervin (1980) yang menonjol dari keseluruhan teori Freud.Prinsip tersebut adalah :
1. Prinsip Kepuasan
2. Prinsip Realitas
3. Prinsip Reduksi Ketegangan
4. Prinsip Polaritas
5. Prinsip Dorongan Pengulangan

1. Prinsip Kepuasan (Pleasure Principle)

Freud memandang, bahwa manusia bertingkah laku karena didorongn untuk menemukan kepuasan dan sedapat mungkin menekan atau menghindari ketak-puasan atau ketak-senangan. Oleh sebab itu Freud mengibaratkan manusia sebagai pleasure seeking animal. Pengalaman yang menyenangkan atau mendatangkan kepuasan, disadari atau tidak, justru menjadi barometer seseorang untuk melakukannya. Apapun yang dilakukan seseorang lebih banyak ditentukan oleh kepuasan yang ingin dia peroleh. Seseorang sanggup melakukan apa saja demi mencapai kepuasan walaupun harus dengan kekerasan, berantam dengan sesama, atau bertingkah tidak wajar. Cermatilah, misalnya orang yang kepepet untuk kencing, bisa memaki atau memukur pintu wc agar orang yang di dalam cepat keluar

Tapi prinsip kepuasan atau kesenangan ini tidak menjadi tujuan, hanya lebih terlihat menjadi kekuatan motivasi untuk mengejar jati diri manusia, menimbulkan dorongan untuk mencapai keadaan yang memuaskan karena itu bukan imajinatif,


Dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemui, seseorang mungkin berkilah bahwa ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, baik seorang ayah dalam mencari uang atau ibu yang memasak di dapur, tapi kenyataannya sang ibu justru lebih sering memasak makanan yang dia sukai, ketimbang yang disukai suami, atau sang ayah sanggup meninggalkan keluarga demi jabatannya.

2. Prinsip Realitas (Reality Principle)
Dorongan untuk mencari kepuasan diri diatas dibatasi oleh realitas. Tidak semua kepuasan tersebut dapat diwujudkan .Seseorang mungkin menunda kepuasan demi meraih kepuasan lain yang baik, penting, atau lebih berarti. Dalam menghadapi realitas, manusia mungkin mebuat prioritasnya dan memprediksi kepuasan yang lebih penting. Kendatipun ia mau menempuh kesusahan terlebih dahulu. Ambil contoh : Anda, mahasiswa, mau bersusah payah mengikuti kuliah karena memprediksi jabatan, finansial, maupun status sosial selesai kuliah nanti jauh lebih penting.
Bila prinsip kepuasan bersifat instinktif, prinsip realitas lebih banyak dipengaruhi oleh pemelajaran (learning). Bayi belum mampu mencerna realitas secara baik, tapi secepat usianya merambat secepat itu pula lingkungannya memberikan sentuhan pendidikan, maka mulailah ia memperhatikan realitas.

3. Prinsip Reduksi Ketegangan (Tension Reduction Principle)
Prinsip ini berkaitan dengan dua prinsip terdahulu. Dalam suatu keadaan seorang mungkin menemui dua hal yang ekstrim bertentangan. Sekuat adanya dorongan kepuasan sekuat itu pula hambatan pada realitas. Bila hal ini terjadi maka seseorang akan merasa konflik dan timbullah ketegangan (tension) dalam dirinya. Maka seseorang mencari bentuk tingkah laku lain, baik disadari atau tidak, untuk melepaskan ketegangannya itu. Dalam keadaan ini manusia dipandang sebagai tension reduction animal.



4. Prinsip polaritas ( Polarity Principle)
Dalam teori Freud, kendati tidak dieksplisitkannya, dapat ditemukan prinsip polaritas atau dualitas ini. Dengan prinsip ini tergambar adanya dua polar kekuatan yang berbeda dan bertolak belakang dalam kehidupan manusia, yaitu dua macam kualitas yang harus dipilihnya dalam kehidupan shari-hari. Misalnya : baik-buruk, benar-salah , atas-bawah, di dalam-di luar, putih-hitam,, dsb. Polar yang demikian menghadang secara terus-menerus tingkah laku yang akan diambilnya atau tidak.

5. Prinsip Dorongan Pengulangan (Ripitition Compulsion Principle )
Ini merupakan pengakuan peranan pembiasaan dalam tingkah laku. Seseorang akan mengulangi cara tertentu yantg biasa dilakukannya, baik disadarinya atau tidak. Kecendrungan melakukan pengulangan ini lebih banyak dipengaruhi oleh pengalamannya, terutama pengalaman sukses, sehingga dapat menjadi modus operandi dalam kehidupannya menghadapi masalah yang sama. Cara ini menjadi konstruksi yang dirasionalkan untuk meraih hasil-hasil seperti pengalaman sebelumnya.

C. Struktur Kepribadian Manusia
Pada mulanya orang menganggap bahwa psikoanalisa merupakan metode penyembuhan (terapi) dan akhirnya berkembang juga menjadi teori kepribadian , terutama setelah lahirnya teori-teori Freud tentang struktur kepribadian manusia pada awal abad ke-19.
Teori Freud tentang kepribadian manusia pada hakekatnya terdiri dari 3 unsur, yaitu id, ego, dan super ego. Ketiga unsur ini terdapat pada setiap manusia, tanpa terkecuali. Ketiga unsur ini perlu berfungsi secara seimbang. Ketimpangan salah satu fungsi mengakibatkan goyahnya kondisi psikis manusia.
Id atau sering juga disebut Das Es merupakan sumber kekuatan mendasar dari sistem kepribadian manusia. Id bersifat biologis, dan melahirkan dorongan subyektifitas yang berfungsi menjaga keseimbangan diri manusia.
Id tidak toleran dan tidak sabar terhadap ketegangan (tension), dan maunya secepat mungkin melepaskan ketegangan agar terwujud kembali keseimbangan . Oleh karena itu, id hanya mengenal prinsip kepuasanatau kesenangan (pleasure principle). Sehinggga kadang-kadang id terlihat tidak rasional, tidak realistis, tidak disiplin, tidak mengenal aturan, tidak terorganisir, dan tidak disadari. Id bersifat reflaks guna mengejar kesenangan subyektif dan menolak ketakpuasan dan ketaksenangan.
Pech dan Whitlow (1975) menyimpulkan bahwa ID,menurut Freud, bersumber pada Libido : suatu dorongan yang hampir seluruhnya dikendalikan instink seksual. Yaitu instink yang bukan dalam arti sempit, tapi mencakup rasa persahabatan , disayangi, serta untuk mempertahankan dan melanjutkan diri dan keturunan.
Ego merupakan eksekutif; pelaksana, pengendali, dan pengatur id. Fungsi utama ego atau juga sering disebut Freud dengan Das Ich, adalah untuk menjembatani instink yang ditimbulkan id dengan kondisi obyektif dari lingkungan. Ego merupakan aspek psikis dari kepribadian dan timbul karena kebutuhan harmonisnya hubungan seseorang denga lingkungannya atau realitas, sehingga ego didasari oleh prinsip realitas ( reality principle).
Ego tidak bersifat menghalangi id, tetapi berusaha menyeleksi, memilih dan memprioritaskan obyek-obyek yang mungkin dapat memenuhi dorongan id. Implus-implus buta dari id yang mendesak untuk dipenuhi dihadapkan Ego kepada kondisi realitas, sehingga Ego merupakan perantara antara id dengan realitas lingkungan.
Sedangkan Super Ego atau Das Ueber Ich merupakan aspek sosiologis atau dapat dianggap sebagai aspek moral dari kepribadian. Super Ego berfungsi untuk memutuskan id yang telah diprioritaskan Ego benar atau salah, baik atau buruk, pantas atau tidak, etis atau tidak, dsb. Pertimbangan Super Ego ini berasal dari internalisasi nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat diperoleh seseorang dari orngtuanya, guru, dan masyarakat, melalui pendidikan (perintah atau larangan).
Super Ego terdiri atas dua macam penimbang, yaitu ego ideal dan kata hati (conscience). Ego ideal terbentuk dari respon pendidikan yang bersifat memberi pujian atau hadiah. Kata hati terbentuk akibat hukuman-hukuman dalam pendidikan. Ego ideal membentuk rasa bangga akan diri, dan kata hati akan membentuk rasa berdosa atau rasa bersalah.
Dengan demikian, Super Ego dalam trikotomi ini berfungsi untuk (1) merintangi dorongan id yang tidak diterima masyarakat, (2) membujuk id untuk mengalihkan tujuannya dari realitas kepada moralitas, dan (3) mengejar kesempurnaan ( Dahlan, 1985 dan Suryabrata, 1986).

D. Dinamika dan Perkembangan Kepribadian Manusia
Ketiga unsur kepribadian, id, ego, dan super ego diatas merupakan energi psikis yang menghasilkan keinginan, pengamatan, dan pikiran. Dalam berhubungan dengan dunia luar, dapat terjadi perubahan energi dari dan ke energi psikis. Pikiran ( energi psikis) dapat menimbulkan perbuatan ( energi otot). Suara (energi mekanik) dapat menimbulkan pemahaman (energi psikis) ( Hall, 1980).
Energi psikis ini menurut Freud (Hall & Lindzay, 1981) adalah suatu dorongan dari dalam yang ditimbulkan oleh instink. Instink psikologis disebut keinginan (wish),
Yang berkaitan dengan tubuh dinamai kebutuhan (need).
Freud membedakan instink atasdua macam: Eros dan Thanatos. Eros adalah instink kehidupan ( life instinct) yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan manusia dan melanjutkan keturunan. Energi yang mendorongnya disebut libido yang berbentuk instink seksual yang meliputi berbagai macam erotis. Sedangkan Thanatos atau instink kematian (death instinct) adalah instink yang destruktif atau merusak. Perkelahian dan agresi dalam rangka mempertahankan diri salah satu bentuk perwujudannya. Tapi Freud tidak menjelaskan, energi apa yang menggerakkannya. Hanya bermula dari pandangannya ; “ The goal of all life is death” (Hall & Lindzey, 1981). Sehingga orang mempunyai keinginan akan mati walaupun tidak disadarinya. Instink kematian ini kadang-kadang bersatu dengan instink kehidupan sehingga saling menetralkan.
Instink yang membentuk energi psikis ini masuk kedalam id sehingga mempengaruhi ego dan super ego. Ego dituntut untuk mengontrol id. Bila id lepas control dari ego dan super ego, seseorang mungkin melakukan sesuatu yang tidak penting dan atau bertantangan dengan nila dan norma masyarakat. Akibatnya timbullah kecemasan (anxiety). Bila kecemasan mencapai tingkat yang tinggi , ego akan berusaha mencari bentuk pertahanan yang menyimpang dan mempengaruhi psikis manusia.
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang dinamika dan perkembangan kepribadian manusia pembahasan diatas belum terasa memadai. Psikoanalisis tidak hanya terbatas pada energi psikis diatas, tapi masih terdapat konsep-konsep penting dari teori yang dikembangkan Freud. Dibawah ini ada beberapa konsep penting dari Freud, yaitu :

1.Tingkat Kesadaran Manusia
Freud mengklarifikasikan kesadaran manusia atas tiga, yaitu : alam sadar (consciousness), ambang sadar (preconscious) dan alam tak sadar (unconscious).
Alam sadar adalah bagian dari kehidupan psikis individu yang sepenuhnya disadari. Kondisi kesadaran memungkinkan individu mengenal dirinya dan yang terjadi disekelilingnya. Ambang sadar merupakan kondisi antara sadar dan tidak sadar atau keadaan samara-samar. Kesan pada ambang sadar dapat ditangkap dan dimengerti tapi mudah sekali terlupakan. Ambang sadar berfungsi sebagai saringan untuk alam sadar.Sedangkan alam tak sadar merupakan segenap pengalaman yang terlupakan oleh individu.

Konsep Freud tentang kesadaran ini
diibaratkannya seperti gunung es.
Kesadaran jauh lebih kecil dari alam
ketaksadaran yang dimiliki
oleh individu, seperti gambar disebelah
Bongkahan salju yang tidak terlihat
Justru lebih besar dan lebih banyak
dari yang tampak





Konsep ini oleh pewaris Freud (Freudian) dikembangkan. Benassy (Bischoff, 1977) menambah adanya subconscious yaitu keadaan di bawah atau di luar kesadaran tetapi tidak tepat dianggap salah satu kategori di atas. Misalnya kondisi kesadaran ketika terbius, guna-guna atau koma.
Sementara oleh Jung, konsep ketaksadaran ini keperluasnya dengan mengembangkan adanya ketaksadaran personal dan ketaksadaran kolektif. Ketaksadaran personal merupakan pengalaman yang pernah disadari yang kemudian ditekan atau dilupakan seperti pengalaman yang menyakitkan dan memalukan. Sementara ketaksadaran kolektif bersifat pembawaan yang diturunkan atau diwarisi melalui arcetif dari nenek moyangnya. Inilah yang menyebabkan klen, suku, atau ras.
Temuan Freud tentang alam tak sadar ini merupakan pendobrakan akan konsep klasik sebelumnya yang memperhatikan alam kesadaran manusia semata. Oleh karena alam ketaksadaran dapat muncul sebagai implus yang menggunakan prinsip kepuasan , maka diharapkan alam ambang sadar dapat menyaringnya. Akan tetapi direvisi Freud kemudian dengan id,ego dan super ego.

2. Konsep tentang cinta
Instink seksual merupakan konsep penting dari teori Freud dan malah mempunyai pengaruh terhadap teorinya secara keseluruhan, terutama sekali dalam melakukan analisis terhadap perkembangan cinta dan daerah erotis manusia. Pengaruh tersebut dapat terlihat pada uraian tentang tingkat perkembangan cinta di bawah ini.
Cinta homoseksual adalah tahap dimana seseorang lebih mencintai jenisnya, karena manusia, menurut konsepsi Freud, pada dasarnya biseksual. Lelaki mempunyai karakteristik yang sama dengan wanita dan sebaliknya. Akan tetapi adakalanya ada laki-laki yang dominan di pihak lain wanita yang dominan. Oleh karena itu terdapat halangan untuk bekerjasama antar jenis. Hal ini mendorong timbulnya cinta homoseksual. Laki mencari teman akrab yang laki-laki pula, dan wanita begitu pula memilih obyek cintanya dari jenisnya pula.
Fase yang merupakan klimaks dari perkembangan cinta seseorang adalah cinta heteroseksual, yaitu cinta yang obyeknya diarahkan pada lawan jenis. Karena cinta heteroseksual sudah mengarah pada pemilihan patner hidup dengan segala pertimbangan yang berlaku pada masyarakatnya.


3. Urutan Perkembangan dan Daerah Erotis
Ide cemerlang ciptaan Freud adalah menyangkut daerah erotis, yaitu daerah yang menimbulkan perasaan sensual yang menyenangkan.Daerah erotis itu adalah bagian sebelah luar dari tubuh manusia, atau kulit luar bagian dalam.Perasaan kepuasan akan daerah erotis ini dapat ditimbulkan oleh pembawaan maupun karena perkembangan dan pengalamannya. Daerah erotis itu adalah : mulut (bibir),lubang anus atau dubur, dan alat vital.
Berdasarkan daerah erotis ini Freud mengembangkan teorinya tentang urutan perkembangan individu dan kepribadiannya. Urutan perkembangan (development sequence) dimaksudkan Freud adalah tahap-tahap perkembangan kepribadian dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Urutan perkembangan tersebut dibagi Freud sebagai berikut:
a.Tahap Oral
Tahap oral adalah tahap awal atau bayi. Pada tahap ini mulutmerupakan pusat aktivitasnya, karena itu mulut menjadi sumber kesenangan dan kepuasan erotis.Terbukti setiap yang ditemui bayi selalu dibawa ke mulutnya.
b.Tahap Anal
Bertambahnya usia dan bertambah pula pengalaman anak, ia segera memasuki tahap anal. Anak mulai mengetahui fungsinya anus ketika ia berak. Pengalaman berak tersebut dari hari kehari menempatkan anus sebagai pusat kesenangannya. Karena melalui dubur itu ketegangan sebelumnya hilang seketika. Disini perlakuan orangtua mulai berpengaruh.
c. Tahap Phallik
Setelah melampui tahap oral dan anal, anak segera memasuki tahap phallik (usia 3-5 th). Tahap ini ditandai dengan adanya dorongan yang merangsang berfungsinya alat kelamin. Anak suka mempermainkannya dan mencari kesenangan dengan alat itu. Di saat ini anak mulai mengenal perbedaan antara laki-laki dengan perempuan, sehingga anak laki-laki takut “ dikebiri” seperti anak perempuan, timbul Oedipus complex, dan anak laki-laki timbul penis envy, dan timbul electra complex.
d. Tahap Latent
Pada tahap ini timbul tantangan bahwa tidak mungkin mewujudkan Oedipus maupun electra complex, karena tidak mungkin memuaskan seksual dengan ibu, atau melayani ayah, dan disertai kematangan anak, maka timbul cathexis. Implus seksual ditekan dan bersifat tersembunyi. (latent).
e. Tahap genital
Tahap genital adalah perkembangan tertinggi dari individu. Anak mulai mengarahkan obyek kesenangannya tidak pada dirinya lagi, tetapi berorientasi keluar dirinya serta memerlukan adanya hubungan timbal balik (reciprocity). Obyeknya terarah pada intercourde dengan lawan jenis. Masa ini dialami anak setelah ia melampui masa pubertas.,

4. Mekanisme Pertahanan Ego ( ego defense mechanism)
Temuan yang penting lagi dari Freud adalah persoalan mekanisme pertahanan ego. Yaitu cara individu mempertahankan egonya dalam menghadapi tuntunan dunia luar yang tidak dapat dipenuhinya . Realitas kadang-kadang menghambat ego untuk mencapai kepuasan, sehingga ketegangan (tension) ditekan, tapi secara tidak sadar tension tersebut menjadi energi untuk menggerakan suatu perilaku dalam bentuk lain.
Dalam menggambarkan hal ini, Freud menggunakan istilah Cathexis dan anti cathexis . Cathexis merupakan tenaga pendorong (id) anti- cathexis tenaga penghalang (dipunyai ego atau Super Ego ).
Bentuk-bentuk mekanisme pertahanan ego ini adalah sebagai berikut:
a. Identifikasi, seseorang mereduksi ketegangan dengan cara bertingkah laku seperti orang lain atau obyek yang diakuinya. Anak mengidentifikasi orang tua karena menganggap orangtua “omnipotent”.
b. Represi, yaitu menekan kea lam tak sadar sesuatu yang mencemaskan atau mengganggunya.
c. Regresi, yaitu mekanisme pertahanan ego dengan cara kembali atau mundur ke tahap perkembangan sebelumnya.
d. Pembentukan reaksi (reaction formation), yaitu mekanisme pertahanan ego dengan cara mengganti perasaan tersebut dalam keadaan conscious dengan lawannya.
e. Fiksasi, yaitu reaksi pertahanan ego dimana individu menatap atau berada pada sesuatu fase perkembangan tertentu sebelum memasuki perkembangan berikutnya.
f. Proyeksi mekanisme pertahan ego dengan cara menempatkan dirinya pada orang lain.
g. Sublimasi, yaitu mengalihkan obyek atau tujuan kepada obyek lain atau obyek yang lebih tinggi, biasanya tak disadari.
h. Substitusi adalah sublimasi dalam keadaan sadar.

Selain dari bentuk-bentuk diatas oleh Suryabrata (1986) dinyatakan bahwa masih ada lagi bentuk-bentuk pertahanan ego, seperti isolasi ( menghindar atau memisahkan diri ), introyeksi( menyerap sifat-sifat khusus personal orang lain , Drever, 1952), justifikasi (dalam bentuk rasionalisasi, kausalisasi, dan transkulpasi).

5.Kepribadian Mantap dan Kecemasan
Membicarakan bentuk kepribadian yang mantap menurut pandangan psikoanalisa, terutama Freud, adalah penting sekali, akan tetapi sulit merumuskannya, karena Freud tidak menggambarkan bentuk kepribadian manusia yang mantap itu secara khusus. Freud memandang manusia dan kepribadiannya secara deterministik, yaitu mantap tidaknya kepribadian manusia ditentukan energi psikis (id, ego, super ego ), alam tak sadar, dorongan boilogis ( seksual) dan pengalaman-pengalaman yang dialaminya terutama pengalaman pada masa balita.
Sifat deterministik dari manusia tersebut sangat mempengaruhi mantap tidaknya kepribadian seseorang di masa sekarang, kualitas deterministik akan menentukan mudah tidaknya individu mengatasi ketegangan (tension) yang dialaminya. Deterministik yang mudah mengundang kecemasan justru akan membentuk kepribadian yang labil, atau tidak mantap.
Hall (1980) menyimpulkan kepribadian mantap menurut pandangan Freud adalah sebagai berikut :
Secara singkat dapat dikatakan, bahwa kepribadian yang mantap adalah kepribadian, dalam mana energi rohaniah telah menemukan cara-cara yang relatif permanen untuk memperluas dirinya dalam melakukan pekerjaan rohaniah. Sifat yang tepat dari pekerjaan ini ditentukan oleh sifat-sifat strukturil dan dinamis dari id, ego, dan super ego dan oleh tindakan-tindakan timbal balik antara mereka, dan oleh sejarah yang berkembang dari id, ego, dan super ego (hal.169)

Untuk tercapainya kondisi kepribadian yang mantap demikian , Hall (1980) mempersyaratkan :
a. Terhindarnya seseorang dari kecemasan yang diakibatkan oleh ketegangan. Kecemasan adalah suatu pengalaman perasaan yang menyakitkan yang ditimbulkan dari dalam diri.
Kecemasan ini ada tiga bentuk :
(1) Kecemasan tentang kenyataan, yaitu pengalaman perasaan sebagai akibat dari pengamatan atas bahaya dunia luar (ego).
(2) Kecemasan neurosis,yaitu akibat pengamatan akan bahaya dari sesuatu yang diperkirakan terjadi (id)
(3) Kecemasan moral, yaitu kecemasan yang ditimbulkan oleh perasaan bersalah sebagai akibat dari pertimbangan super ego.
b. Terpecahkan pertentangan antara id, ego, dan super ego.
c. Terdapatnya kematangan dan keseimbangan antara cathexis dan anti-cathexis sehingga tidak selalu tertekan saja, tetapi ditemukan obyek atau bentuk aktivitas baru yang tepat.
Dengan memperhatikan pandangan Freud diatas, maka beberapa bentuk kepribadian yang diwujudkan seseorang dalam bentuk perilakunya dapat dilakukan penafsiran melalui bagian-bagian khusus dari teori Freud.
Prilaku tidak wajar yang ditampilkan seseorang, baik ketidak wajaran dalam seks (perkosaan, homoseksual, lesbian, anal seks, onani, masturbasi, dsb) maupun ketidak wajaran di bidang lain, seperti penipuan, korupsi, sadis dan sejenisnya, serta bentuk kondisi psikis diluar batas normal seperti cemas, psikosa, dan neurosa dapat dicari diterminasi prilaku tersebut baik dari sudut daerah erotis dan tahap perkembangan kepribadian, dari sudut struktur kepribadian , atau dari pengalaman masa lalu.
Prilaku menyimpang yang tidak wajar, terutama dalam seksual, baik yang dilakukan kepada diri sendiri ( onani, masturbasi, dsb), yang diarahkan kepada lawan jenis ( perkosaan, anal seks) atau kepada jenis yang sama (homoseksual dan lesbian) dapat ditelusuri dari pengalaman individu dengan daerah erotis. Oleh karena pengenalan tentang daerah erotis sangat sensitif, trauma yang ditemui ketika berada pada tingkat perkembangan perkenalan kepuasan dari daerah erotis tersebut dapat menimbulkan penyimpangan. Ambilcontoh, orang mendapat sandungan dalam masa genital mungkin terdorong melakukan onani atau masturbasi sampai dewasa.
Ketidak wajaran dalam lapangan sosial, seperti pelanggaran terhadap norma dan nilai masyarakat (mencuri, atau melanggar hokum) maka yang lebih menonjol pada dirinya adalah id, yang orientasinya untuk kesenangan/kepuasan. Ego yang berlandaskan prinsip realitas serta super ego yang berusaha menuju kesempurnaan berada pada pihak yang kalah. Oleh karena itu dorongan id lebih leluasa.
Sedangkan masalah penyesuaian diri, dan kondisi psikis yang labil dapat ditelusuri dari cathexis dan anti-cathexis yang menimbulkan konflik serta mekanisme pertahan diri yang dilakukan.

E. Pengembangan oleh Freudian
Bila Bertans membagi periode perkembangan psikoanalisa atas tiga (semasa hidup Freud), maka periode itu dapat ditambah dengan periode ke-4 dengan pengembangan ( 1939-sekarang). Yang dilakukan oleh pengikut dan pelanjut Freud ( Freudian ).
Diantara pakar pengembang teori Freud ini adalah seperti Carl. G.Jung (1875-1961),Alfred adler (1870-1937), Karen Horney (1885-1952), Otto Rank ( 1884-1939), Erich Fromm (1900- ? ), Harry Stack Sullivan (1892-1949), Erik hamburger Erikson (1902- ).
Jung memperluas konsep Freud tentang alam tak sadar dengan mengemukakan adanya alam ketaksadaran personal dan kolektif seperti telah diuraikan diatas. Selain itu Jung mengemukakan pula persona sebagai pusat kepribadian yang berisi harapan masyarakat. Anima dan Animus ( feminism dan maskulin), sikap intraversi dan introversi. Jung juga mengembangkan tipe manusia, tipe berfikir (logika), perasa (nilai-nilai),pengecap( persepsi), dan intuitif (proyeksi kemungkinan).
Adler membenarkan pentingnya pengalaman pada masa balita, pengalaman yang tidak menyenangkan dapat menyebabkan timbulnya gaya hidup yang keliru. Konsep ia tentang gaya hidup merupakan inti teorinya disamping konsep inferioritas dan superioritas. Tapi Adler lebih mempercayai determinan social, bukan seksual seperti Freud.
Persoalan kecemasan yang menimbulkan neurosis mendapat pengembangan dari Horney dengan 10 kebutuhan neurotiknya. Horney memperluas determinan seksual Freud kepada teori social-psikologis. Ia juga mengembangkan tiga macam sikap dasar berdasarkan tahap perkembangan, yaitu : moving toward (helpless pada anak-anak), moving against (hostile pada remaja), dan away from (isolasi pada orang dewasa).
Otto Rank lebih menekankan trauma kelahiran.Berdasarkan konsepnya tentang keinginan ia mengembangkan tiga macam karakter manusia,
yaitu (1) orang rata ( menerima keinginan kelompok), (2) orang neurotik (menolak keinginan kelompok dan bergolak dengan keinginan sendiri), dan (3) orang kreatif (menciptakan standar nilai sendiri dan menerima dirinya ).
Bagi Fromm nilai masyarakat menjadi orientasi dasar. Disebabkan manusia mempunyai kesadaran diri, maka ia kembangkan 5 kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan akan : (1) berhubungan, (2) Transedensi (kreatif dan unggul), (3) kemantapan (4)identitas ( terlepas dari dunia luar), dan (5) kerangka orientasi. Sejalan dengan kebutuhan ini ia juga mengembangkan adanya 5 tipe karakter manusia berdasarkan orentasi, yaitu (1) reseptif ( mencari dukungan), (2) eksploratif (memanipulasi), (3) menimbun (memiliki), (4) pasar (keuntungan ), dan (5) produktif (kreatif).
Sistem diri dan proses terbentuknya ego merupakan sumbangan Sullivan yang berharga terhadap psikoanalisa. Sistem ini terbentuk sebagai reaksi melawan kecemasan yang diperoleh melalui hubungan interpersonal. Sementara pembentukan ego dianggapnya melalui tiga corak : (1) protaksis (tahunpertama kehidupan dan tidak ada pemisahan waktu dan tempat), (2) parataksis (pengalaman yang terpencar-pencar ketika balita) dan sintaksis (semakin kurangnya distorsi usia dewasa).
Sedangkan Erikson dengan identitas ego-nya sebagai persepsi atas diri sendiri dan anggapan orang lain, mengembangkan prinsip polaritas Freud ke dalam 8 tingkatan perkembangan, yaitu (1) percaya-tidak percaya, 1 th, (2) autonomi- ragu, 1-3 th, (3) inisiatif- salah, 4-5 th. (4) industri- inferioritas, 6-11 th. (5) identitas diri- kekacauan peran, 12-20 th (6) intim- akrab , usia dewasa, (7) keberhasilan –stagnasi, pertengahan dewasa, dan (8) integritas-keputusasaan, dewasa akhir.

F. Penerapan Psikoanalisa Dalam Terapi
Gangguan psikis, dipandang dari psikoanalisa, disebabkan oleh : (1) pengalaman masa lalu, terutama masa kanak-kanak, (2) dorongan ketaksadaran, dan (3) rasa cemas. Ketiga hal ini mempengaruhi struktur kepribadian seseorang. Oleh karena itu, terapi psikoanalisa pada hakekatnya bertujuan untuk merekonstruksi struktur kepribadian individu sehingga tercipta keseimbangan antara id, ego, dan super ego. Pengalaman traumatik masa lalu yang terpendam pada alam tak sadar dapat dimunculkan ke dalam alam sadar sehingga tidak menimbulkan kecemasan. Karena super ego dapat menjalankan fungsinya.
Konsep ini pada hakekatnya berasal dari pandangan Freud tentang symptom neurotik yang diakibatkankarena adanya ketegangan yang tidak tersalurkan yang berkaitan dengan memori masa lalu. Untuk itu memori masa lalu , terutama masa kecil, perlu dan menduiduki tempat penting dalam pendekatan ini.
Pada psikoanalisa klasik, terapi dilakukan dimana klien bersandar pada bangku atau berbaring pada balai-balai dan analist (istilah yang biasa digunakan psikoanalisa untuk ganti terapist, atau konselor) berada di sampingnya. Agar klien dapat mengungkap seluruh pengalamannya, analist menggunakan hipnotis. Tapi cara ini telah ditinggalkan Freud sendiri dan menggantinya dengan asosiasi bebas. Klien diajak menceritakan tentang pikiran, perasaaan, persepsi, atau pengalamannya di masa kecil, walau terkadang tidak relevan, tidak tepat, atau tidak logis dengan masalahnya sekarang.
Dalam pendekatan ini.klien lebih banyak melibatkan diri untuk bercerita dan mengungkapkan segenap yang terlintas dalam pikirannya kepada analist, termasuk menceritakan mimpi-mimpi yang dialaminya. Sementara analist lebih cenderung pasif, atau membiarkan diri anonim, Istilah Corey (1988). Hal ini dilakukan tentu setelah terbinanya hubungan dan klien ada kemauan untuk sembuh. Tugas dari analist bukan hanya mendengar saja, akan tetapi menafsirkan ungkapan klien, memperhatikan isyarat-isyarat khusus atau penolakan klien, memperhatikan kesenjangan atau ketidakcocokan dalam keseluruhan cerita klien, membandingkan dan menganalisis kepribadian klien dengan teori, dan menyampaikan tafsiran atau kesimpulan analisis tentang cerita klien pada waktu yang tepat.
Bila penafsiran tersebut diterima klien, cerita dilanjutkan lagi, dan mungkin klien bagi analist mengajak klien menceritakan mimpi-mimpinya, dan analist menafsirkan symbol konflik dan mimpi tersebut. Begitulah seterusnya, hingga terbentuk transferensi positif klien pada analist. Bila penilaian analist transferensi tersebut telah terbina, konseling dapat dihentikan karena klien akan datang kembali.
Dengan cara demikian, pengalaman klien yang semula tidak disadarinya dapat dimunculkan ke alam sadarnya dan pada gilirannya memfungsikan id, ego, dan super ego secara serasi dan seimbang.
Untuk itu, analist dalam psikoanalisa paling kurang mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :
a. Menciptakan iklim yang mendorong klien dapat mengungkapkan dirinya kepada analist secara bebas.
b. Menafsirkan pengalaman masa lalu dan mimpi-mimpinya sehingga klien dapat menangkap makna dan kaitannya dengan kehidupan sekarang.
c. Membantu klien dalam mengatasi penolakan dirinya pada aspek tertentu.
d. Menumbuhkan kemandirian klien secara berangsur-angsur dengan memberikan dukungan terapeutik kepada klien.
e. Mendorong tumbuh dan terciptanya transferensi positif klien terhadap konselor melalui komunikasi yang tepat dengan mempelajari respons klien.
Sementara kepada klien dituntut oleh Belkin (19750 untuk berperan atau menempatkan dirinya sebagai berikut :
a. Klien seyogyanya untuk mengungkapkan seluruh pikiran dan perasaan dalam proses konseling tanpa menyembunyikannya kepada analist.
b. Klien seyogyanya untuk tidak kuatir apalagi takut mendapat malu, penghinaan, gaduh, atau hilangnya kesempatan klien akibat ungkapannya kepada analist.
c. Klien seyogyanya berusaha mewujudkan keputusan di luar konseling.

G. Teknik dan Proses Terapi
Psikoanalisa menggunakan berbagai teknik dalam terapinya. Di antara teknik yang digunakan itu sebagaimana diungkapkan Nelson-Jones (1982), Corey (1988), Shertzer & Stone (1980) adalah teknik :
1. Asosiasi Bebas (Free Asosiation)
2. Penafsiran (Interpretation)
3. Analisis Mimpi (Dream Analysis)
4. Analisis Penolakan (Analysis of Resistance)
5. Transferensi (Transference)

1.Asosiasi Bebas
Asosiasi bebas adalah pemanggilan kembali pengalaman masa lampau yang berkaitan dengan situasi traumatik dengan cara memberikan kepada klien untuk mengungkapkan secara bebas apa yang dipikirkan atau dirasakannya. Cara ini sering juga disebut dengan katarsis.
Asosiasi bebas dilandasi oleh assumsi, bahwa dengan memberikan kesempatan yang luas bagi klien untuk memilih dan membicarakan tentang pengalaman masa lampaunya akan memungkinkan terungkapnya peristiwa penting yang sudah tersimpan beku dalam alam ketaksadarannya.
Selama asosiasi bebas berlangsung, analist mendengarnya penuh perhatian atau mendengar dengan” telinga ketiga” sehingga analist dapat menangkap makna dari cerita klien tersebut, yang kemudian dianalisis dan ditafsirkan dan pada gilirannya disampaikan kepada klien. Pernyatan yang bisa digunakan untuk tercitanya asosiasi bebas ini misalnya: Apakah yang kamu pikirkan sekarang ? Apakah pengalaman yang paling berkesan selama hidup Anda ? Peristiwa tragis apa yang pernah kamu alami selama hidup ini ? Pernahkah Anda terkesan amat bahagia dalam hidup ini ?. Bila klien menjawab ada, analis dapat meminta klien “coba ceritakan!”


2. Penafsiran
Penafsiran adalah usaha memberi makna dari suatu perilaku atau ungkapan klien sehingga yang semula tidak disadarinya dapat muncul sebagai bagian dari kesadaran. Asumsi penafsiran ialah, bahwa penafsiran yang jitu dan tepat waktu dapat menimbulkan insight yang mampu menumbuhkan wawasan baru klien. Untuk itu, penafsiran hendaknya: (1) diberikan segera setelah klien membicarakan hal tersebut sehingga mudah disadarinya, (2) tidak dipaksakan , dan (3) diperkirakan terjangkau oleh pemahaman klien.

3. Analisis Mimpi
Analisis mimpi adalah usaha menyingkap makna atau sombol-simbol yang terdapat konflik yang dialami klien. Ini didasari oleh assumsi, bahwa kebutuhan, hasrat, dan kecemasan klien terefleksi dalam simbol-simbol mimpi, karena itu, “ mimpi adalah jalan utama untuk memasuki alam tak sadar” klien.
Analisis mimpi ada dua bentuk : analisis isi mimpi yang bersifat manifestasi dan latent. Analisis isi mimpi yang termanifestasikan adalah analisis terhadap motif yang terungkap jelas dan disadari. Sedangkan yang latent adalah analisis terhadap isi mimpi yang mengandung hasrat, kebutuhan dan kecemasan yang samar-samar dan biasanya dikendalikan oleh alam tak sadar. Oleh karena itu, isi mimpi yang latent hendaknya dapat diungkap menjadi yang termanifestasikan.

4. Analisis dan Penafsiran Penolakan
Didasari, bahwa pada asosiasi bebas tidak semua masalah terungkap. Adakalanya disebabkan oleh kekhuatiran klien akan akibat pengungkapan tersebut sehingga egonya menekan dan melakukan tindakan defensif. Karena itu penolakan ini dapat merintangi proses konseling, maka analist perlu menggunakan teknik ini.
Bentuk penolakan bisa terjadi dalam bentuk : (1) klien tidak mengungkap secara utuh, (2) menolak terciptanya transferensi, (3) dorongan id mencari kesenangan dan menghindari ungkapan yang tidak menyenangkan , dan (4) adanya rasa bersalah atau malu dari super ego. Untuk itu analist perlu melakukan analisis terhadap bentuk-bentuk penolakan tersebut, dan dituntut mengemukakannya kepada klien, terutama sekali penolakan yang ketara.

5.Transferensi
Transferensi adalah perasaan, pikiran, atau sikap klien pada masa lalu yang dihidupkan kembali pada proses konseling, sehingga tokoh yang memainkan peranan pada masa lalu tersebut dialihkan kepada analist. Transferensi dapat berbentuk positif atau negative (sayang atau benci)
Dengan adanya pengalihan tokoh masa lalu kepada analist akan memungkinkan distorsi kehidupan masa lalu diselesaikan, karena klien dapat bereaksi kepada analist sebagaimana reaksinya masa lalu, dan pada gilirannya konflik dan penyebabnya dapat diselesaikan pada masa sekarang.
Kelima teknik yang dikemukakan diatas, tercangkup pada keseluruhan proses konseling. Gilliland et al.(1984) dan Arlow dalam Corsini Ed. (1984) menggambarkan proses konseling psikoanalisa berlangsung 4 tahap, yaitu:
1. Tahap pembukaan
2. Mengembangkan Transferensi
3. Penanganan
4. Pemecahan Transferensi
1. Tahap Pembukaan
Tahap pembukaan adalah tahap awal dari konseling. Tahap ini terdiri atas dua bagian. Pada bagian pertama disebut analisis situasi, dimana klien-analisist telibat pembicaraan awal yang menyangkut kontrak. Analist mempelajari kesulitan klien dengan meminta klien menceritakan kondisi dan latar belakang kehidupannya, terutama kesulitan yang dihadapinya sekarang. Kemudian klien-analist membicarakan kontrak konseling dengan menjelaskan tugas masing-masing, serta termasuk negosiasi tentang imbalan jasa, lamanya proses tiap konseling, serta frekuensi dan jadwal pertemuan.
Setelah bagian pertama selesai, klien diminta untuk melanjutkan pembicaraan tentang kesulitan atau keluhan yang dialaminya sekarang. Analist berusaha menangkap thema pokok klien yang sebenarnya, terutama unsur-unsur unconscious klien. Untuk itu, dengan teknik asosiasi bebas klien diajak untuk menceritakan pengalaman masa lalunya. Analist memberikan tafsiran dan menyampaikannya kepada klien.
2. Tahap Mengembangkan Transferensi
Tahap ini merupakan tahap penilaian terhadap hubungan yang telah terbina. Perasaan,persepsi, dan respons klien terhadap analist dinilai.Hasilnya ditunjukan kepada klien,bahwa pengalaman masa lalu terlihat pengaruhnya pada masa sekarang dengan memberi contoh atas tranferensi yang telah dilakukan klien. Sehingga klien dapat membedakan antara fantasi dengan realitas. Tapi analist dituntut waspada terjadinya contra -transferenesi , yaitu justru analist yang melakukan transferensi kepada klien.
Analisis dan pengembangan transferensi ini dapat dilakukan dalam berbagai kesempatan dan dengan cara berbeda. Sehingga pengalaman masa lalu yang tak disadari dapat diketahui pengaruhnya muncul sebagai bagian dari kesadaran klien.
3. Tahap Penanganan
Tahap inimerupakan lanjutan dari tahap sebelumnya. Analist mungkin saja melakukan analisis transferensi kembali, namun analisis transferensi diarahkan kepada masalah yang dekat atau inti dari kondisi klien sekarang. Sehingga dapat melahirkan pemahaman klien atas konflik yang dihadapinya.

H. Kemungkinan dan Tantangan Penerapan Psikoanalisa
Setelah mempelajari psikoanalisa, persoalan sekarang muncul,yaitu mungkinkah psikoanalisa diterapkan ? Jawabnya tak bisa dikotomi” ya” atau “ tidak”, karena disamping ada keunggulan dan kemungkinan penerapannya, juga terdapat tantangannya.
Tantangan penerapan psikoanalisa berpangkal pada pandangannya yang deterministik, bahwa kondisi individu sekarang dipengaruhi atau merupakan pengulangan masa lalunya. Sehingga factor kekinian dan kedisinian (here and now) tidak menjadi pertimbangan dari psikoanalisa. Hal ini penting, karena pengalaman manusia yang diperolehnya sepanjang hayat dapat mempengaruhi kepribadiannya.
Dipihak lain, penerapan psikoanalisa selain membutuhkan keterampilan prima dari analist, juga membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak menguntungkan bagi klien dan kehidupan dewasa ini yang tengah berpacu dengan waktu. Apalagi bila hal ini dibawa ke sekolah. Konseling psikoanalisa yang biasanya memakan waktu bertahun-tahun akan terasa kurang efisien pada sekolah yang pada umumnya mempunyai waktu terbatas.
Namun disadari pula, terapi psikoanalisa mempunyai teknik yang cocok dengan teori kepribadiannya, serta efektif dalam mencapai tujuannya (Shertzer & Stone, 1980). Dan Franz Alexander (1965) berkomentar, bahwa psikoanalisa mampu mengatasi : (1) Keengganan klien mengungkapkan dirinya kepada analist karena tertanamnya hasrat untuk sembuh dari klien,(2) ketidakmampuan mengungkapkan diri diatasi dengan teknik asosiasi bebas, (3) ketidakpahaman analist akan klien dapat dikurangi besarnya kesempatan menganalisisnya, dan (4) perbedaan (gap) klien-analist dapat dikurangi dengan adanya proses yang lama.
Dengan demikian, penerapan terapi psikoanalisa untuk sekolah (konseling) dapat dilakukan dengan berusaha menekan dan meminimalkan kelemahannya. Artinya, adaptasi psikoanalisa oleh konselor yang kreatif akan memungkinkan penerapan teknik psikoanalisa ini di sekolah, terutama sekali bila konselor memandang determinasi pengalaman masa lalu kliennya sangat menonjol pada klien yang dihadapinya.

I. Pertanyaan dan Tugas
Berikut ini ada pertanyaan tentang uraian di atas yang perlu anda selesaikan setelah anda membaca materi ini.Diantaranya:
1. Kondisi apa yang menyebabkan Freud merasa perlu mengembangkan asosiasi bebas (free association) ?
2. Bagaimana mekanisme id, ego, dan super ego dalam membentuk kepribadian individu, serta apa fungsi super ego di tengah-tengah trikhotomi Freud tersebut ?
3. Coba dirumuskan sekitar 40 kata tentang kepribadian yang mantap menurut Freud?
4. Apa tujuan terapi psikoanalisa ? Apa peranan analist dan klien ?
5. Teori Freud pada pokoknya mempunyai 5 prinsip. Salah satu dari prinsip itu (prinsip realitas) telah ada contoh yang eksplisit. Sekarang anda diminta untuk membuat contoh-contoh masing-masing prinsip tersebut, dua contoh untuk masing-masingnya !
6. Ada beberapa bentuk mekanisme pertahanan ego manusia. Salah satu bentuk mekanisme (identifikasi) telah ada contohnya. Anda diminta untuk membuat contoh eksplisit tentang mekanisme yang lainnya,masing-masing 2 contoh !
7. Dalam materi dipergunakan berbagai istilah ( tunggal atau majemuk). Anda diminta menyusun paling kurang 40 buah istilah yang dipergunakan pada bacaan di atas , secara alpabetis, dan uraikan maksud atau artinya baik berdasarkan materi ini atau berdasarkan buku lain (kamus) !





Daftar Bacaan
Alexander, Franz.1965. Azas-azas Pichoanalisa. Terj. Saini Karnamisastra . Bandung :
CV Komara.
Arlow, Jacob A. 1984.“ Psychoanalyis” in Corsini Ed. Current Psychoterapies. Itasca :
Peacock Publishers, Inc.
Beikin, Gary S. 1975. Practical Counseling in the Schools. Duburgue: William C. Brown.
Bertens,k. 1979. Memperkenalkan Psikoanalisa. Jakarta : Gramedia.
Bischof, L. J. 1970. Interpreting Personality Theories. 2Ed.Singapura : Time printers.
Corey. Gerald. 1988. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Terj. E.Koswara.
Bandung:Eresco.
Dahlan, M. D.1985. Beberapa Pendekatan dalam Penyuluhan (Konseling). Bandung: CV. Diponegoro.
Gilliland, Burl E.1984. Theories and Strategies in Counseling and Psychoterapy.
Englewood Cliffs : Printice- Hall , Inc.
Hall,Calvin S. Sigmund Freud: Suatu Pengantar ke dalam Ilmu Jiwa Sigmund Freud.
Terj.Tasrif. Jakarta : PT Pembangunan.
Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner.1981. Theories of Personality. 3Ed. New York: Johan Wiley & Sons.
Nelson-Jones, Richard. 1982. The Theory and Practice of Counseling Psychology.
London : Holt Renehart and Winston.
Peck & Whitlow, David.1975. Approaches to Personality Theory. Bungay: Methuen
& Co. Ltd.
Pervin,Lawrence A. 1980. Personality : Theory Assessment and Reseach. New York :
John Wiley & Sons, Inc.
Shertzer, Bruce & Stone, Shelly C. 1980. Fundamental of Counseling.3Ed. Boston:
Houghton Mifflin Company.
Suryabrata, Sumadi. 1986. Psikologi Kepribadian. Jakarta : CV. Rajawali.