Kamis, 13 Mei 2010

DAMPAK WANITA KARIER TERHADAP PENDIDIKAN ANAK




B. PENGERTIAN WANITA KARIER
Istilah karier secara sederhana dapat diartikan sebagai  pekerjaan yang dijalani seseorang secara menetap setelah terlebih dahulu menjalani persiapan untuk itu  (Strong & Vault, 1998). Ini berarti, bahwa karier merupakan pekerjaan tetap    Bilamana dikaitkan dengan wanita, maka wanita karier adalah wanita memiliki pengalaman pendidikan/pelatihan atas suatu pekerjaan dan  bekerja dalam bidang tersebut dalam waktu yang sudah lama meskipun mereka sudah berkeluarga.
Menjadi wanita karier nampaknya semakin disukai wanita. Banyak wanita sekarang yang menjadi pekerja profesional di luar rumah, layaknya pria. Jumlah wanita karier ini akan semakin bertambah di masa depan. Bahkan menurut   Tofler (1995) menjalani pekerjaan tradisional sebagai ibu rumah tangga  telah menjadi momok yang menakutkan bagi wanita sendiri.
Dengan semakin banyaknya wanita menjadi wanita karier,  maka sudah barang tentu akan menghadapkan wanita tersebut ke dalam peran ganda. Sebagai ibu sekaligus sebagai pekerja. Persoalan ini tidak hanya menyangkut dirinya sendiri, tetapi para suami serta anak-anaknya. Misalnya persoalan pasangan, hubungan suami isteri, melahirkan anak, pengasuhan anak,  sampai  perpisahan tempat tugas.
Berbagai dampak tersebut mulai dirasakan,  setidaknya ditemukan ada gejala  bahwa dampak positif  yang dirasakan adalah dari sudut kesetaraan hubungan  dan  keberhasilan  memenuhi kebutuhan ekonomis  keluarga. Namun juga ditemukan gejala yang diindikasikan sebagai dampak negatif, terutama menyangkut pendidikan anak, kelanggengan perkawinan, serta pelanggaran hubungan seksual.  Dalam pendidikan misalnya, kekurangan waktu mereka mendidik anak seringkali menyebabkan anak menjadi banyak kehilangan kasih sayang seperti bermain di luar rumah,  terlibat gang, tawuran, serta mudahnya anak-anak  terbawa arus pergaulan bebas serta penyalahgunaan obat-obatan.
Menurut Frank D Cox (1993)  ada tiga tipe wanita dalam  bekerja ini. Pertama,  mereka bekerja dan  berhenti setelah melangsungkan perkawinan. Kemudian  tinggal di rumah dan mengurus suami dan anak-anaknya. Biasanya  ini terjadi  karena   mendapatkan suami yang mampu dan  tidak memerlukan  tambahan penghasilan dari  sang isteri. Tipe Kedua, adalah mereka yang berkerja sampai  mereka memiliki anak. Bilamana kelahiran anak mereka  dan mereka memutuskan untuk mengutamakan perawatan anak  dari pada bekerja. Boleh jadi karena sang suami mampu, atau karena  tidak  cocoknya tuntutan pekerjaan wanita tersebut dengan kondisi rumah tangga mereka.
Tipe Ketiga, adalah wanita yang menekuni pekerjaannya sebagai profesi meskipun mereka sudah melangsungkan perkawinan, atau mungkin sekali memiliki anak. Mereka tidak meninggalkan pekerjaannya, dan terus bekerja, meskipun pekerjaan yang dilakukan  mengharuskan mereka berada diluar rumah dan meninggalkan  anak-anak mereka  pada jam kerja mereka sepanjang saat. Tipe ketiga inilah yang disebut dengan Wanita Karier.
Jadi, yang dimaksud dengan wanita karier  ini adalah wanita yang menekuni pekerjaan di luar rumah layaknya pria dalam waktu yang lama dan dengan gaji yang tetap,  meskipun mereka sudah melangsungkan perkawinan dan punya anak.Tidak termasuk dalam kategori wanita karier ini adalah wanita yang membuka usaha sampingan, seperti bedagang dengan membuka  warung atau pertanian disamping rumah mereka.

B.  WANITA MAKIN DOMINAN  DARI PRIA

Emansipasi dan tuntutan perbedayaan  wanita yang dikumandangkan sebagai isu internasional lebih dari dua dasawarsa lalu, ternyata sekarang  telah dan tengah dinikmati keberhasilannya oleh para kaum wanita. Berbagai budaya, kultur dan nilai-nilai  yang  membelenggu kebebesan mereka selama ini berhasil direduksi bahkan dihilangkan sehingga tak lagi masalah.
Hasilnya, banyak wanita memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dirinya menjadi pekerja profesional layaknya pria. Di setiap bidang dan lini kehidupan sudah dapat dipastikan di sana ada wanita sebagai pekerjanya. Bahkan di Negara barat sekarang, pekerjaan yang semula diangap pantas untuk pria, sekarang justru dilaksanakan wanita. Sekalipun keras, nampaknya  tidak jadi soal bagi wanita. Mulai dari pilot sampai astronot, dari tentara sampai  politikus,  dari pandai menari sampai jadi petinju, bahkan  ada pula wanita yang  jadi binaragawati, sunguh edan!
Text Box:
Tidak hanya di negara barat, di tanah air sendiri jumlah  wanita karier semakin meningkat.  Dewasa ini, sering kita jumpai,  wanita yang menjadi pekerja dalam berbagai pekerjaan yang semula dilakukan oleh pria. Seperti menjadi tentara, polisi, ahli konstruksi, operator mesin, sopir/pilot, dan  sebagainya.  Tidak terkecuali di bidang politik, undang-undang pemilu yang  menuntut  keterwakilan wanita dalam  legislative, telah mendorong  peningkatan jumlah politikus wanita, dan termasuk mendorong wanita muncul menjadi pemimpin partai  dan  kepala daerah.


Bahkan dalam bidang tertentu, wanita telah mendominasi pria. Seperti dalam lapangan perdagangan, komunikasi dan entertainment  secara kuantitas, wanita justru melebihi jumlah pria. Apalagi dalam bidang pendidikan, wanita  telah mematahkan dominasi pria. Kalau dulu guru SD dominan

pria,sekarang ini jumlah   guru wanita pada SD justru lebih  banyak dibandingkan dengan guru pria. Dari 10 guru yang biasanya terdapat pada suatu SD, paling kurang 8 diantara mereka adalah wanita, guru SD laki-laki setiap SD justru tidak lebih dari dua orang. Bahkan ada sekolah yang tidak lagi memiliki guru SD laki-laki. Dari sudut mutu hasil kerjanya, kalaupun tidak lebih, harus diakui bahwa mutu hasil kerja wanita tidak kalah dari pria.
                                             
2. WANITA  MENJADI PEMIMPIN

Menjadi wanita pemimpin  tidak selalu berjalan dengan mulus.  Stigma bahwa pria lebih memenuhi syarat bila dibandingkan dengan wanita dalam persoalan  kepemimpinan telah menjadi   ganjalan  kesempatan wanita menjadi  pemimpin selama ini, termasuk halangan  wanita  menjadi pemimpin dalam bidang pendidikan. Kepercayaan ini dihubungkan dengan tuntutan akan ciri  kepemimpinan serta tuntutan keterampilan untuk menjalankan proses  kepemimpinan yang efektif. Ini dikaitkan dengan strio type yang melekat pada  kondisi pisik dan tanggung jawab regeneratif yang diemban oleh wanita (Bush & Coleman, 2008).
Pada negara yang melakukan  diskriminasi,  hanya ada sekitar 5% dari pemimpin  wanita dan  3 % wanita yang mencapai karir puncak di lapangan bisnis. Pada hal di negara yang tidak menganut paham deskriminasi,  hampir  separoh dari jabatan  puncak dalam bidang pemerintahan dan bisnis dipegang oleh kaum hawa.  Ini menggambarkan, bahwa peluang wanita  menjadi pemimpin  terhambat dengan  adanya sikap  diskriminasi terhadap wanita. (Yulk, 2007: 379)
Kondisi ini mungkin sekali dipengaruhi oleh keterbatasan kemampuan wanita untuk menampilkan  diri sebagai sosok pemimpin yang dibutuhkan dalam suasana yang penuh perubahan ini,  bahkan  oleh  Arcaro (1995:212), dinyatakan, bahwa ciri kehidupan modern sekarang justru ditandai dengan perubahan. Karena perubahan tak mungkin dihentikan, akan tetapi perubahan tersebut perlu diantisipasi. Seperti diungkapkan  Toffler  (1988),  untuk  menghahadapi dunia yang  penuh perubahan sekarang  diperlukan adalah akselerasi yang cepat.
Bila   -di banyak negara-   selama ini deskriminasi terhadap wanita  berlaku secara meluas dalam berbagai bidang yang kecenderungannya memenangkan posisi pria  sebagai pihak yang punya  kans lebih besar. Akan tetapi sikap seperti telah mulai mengalami perubahan. Sikap diskriminasi itu  terkikis akibat berbagai perubahan yang terjadi, terutama sekali akibat kemajuan di bidang komunikasi. Ancok (2006: 2) menyatakan, bahwa kemajuan dalam komunikasi, khususnya komputer dan internet,  telah merubah dunia kerja dari tekanan pada otot ke kerja otak. Sehingga membawa implikasi semakin mengecilnya perbedaan antara perilaku pekerja wanita dengan pria . Bahkan ada perubahan perilaku  wanita  ke arah prilaku pria. Kini, porsi wanita yang memegang posisi sebagai pemimpin semakin besar, baik dalam dunia  pemerintahan maupun dalam dunia bisnis
Memasuki  tahun 1990-an, adalah awal dari era wanita dalam  kepemimpinan di dunia, begitu Naisbitt & Aburdene (1990:3)   meramalkan hampir seperempat abad lalu  dalam bukunya yang terkenal  Megatrends 2000,  Ramalan itu nampaknya menjadi kenyataan dewasa ini. Wanita tidak hanya menjadi wanita karier tetapi mulai muncul menjadi pemimpin di lingkungan pekerjaam mereka. 
Dengan  diratifikasinya Convention on the Elimination of All Forms  of Descrimination Againts Women (Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita) oleh banyak negara, termasuk oleh Indonesia  melalui Undang Undang Nomor 7 tahun 1984, maka  Indonesia termasuk negara yang mulai menerapkan prinsip kesetaraan  gender. Ini merupakan suatu keadaan di mana  perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan potensinya. secara penuh dan diakui sebagai hak-hak azasinya.  Implikasinya,  sudah barang tentu semakin memberi peluang bagi  wanita untuk berkarier dalam  kepemimpinan bangsa  di masa mendatang
Kebijakan  ini,  secara pelan namun pasti, disambut baik oleh sebagian wanita dengan  menata dirinya  untuk menjalani karier sampai puncak, termasuk menjadi pemimpin. Sekarang,  sebagian wanita  mulai mengembangkan aspirasi untuk bisa menjadi pemimpin, mereka mempersiapkan diri, dan  mulai berani serta percaya diri bersaing memperebutkan posisis pemimpin tersebut. Mereka mulai merasa punya peluang yang sama  untuk tampil sebagai pemimpin, seperti dalam lapangan  politik adanya persyaratan keterwakilan wanita sebesar 30% dalam pencalonan legislatif sungguh memberi peluang besar bagi wanita meniti karier dalam bidang politik.
Keadaan ini  sesungguhnya telah  mendorong wanita untuk  masuk dalam lingkaran  kepemimpinan. Kehadiran wanita dalam jajaran  kepemimpinan menjadi tidak asing lagi bagi  pria,  bahkan  kehadiran wanita   sebagai top leader  telah  diterima di masyarakat.  Sehingga tidaklah mengherankan,  telah banyak wanita berhasil tampil menjadi pemimpin  di tengah laki-laki.
Kondisi ini mulai dirasakan pula dalam dunia perguruan tinggi. Dari laporan,  diberitakan bahwa pada Universitas Harvard, yang selama ini  didominir oleh pria, ternyata akhir-akhir ini mulai  muncul  wanita sebagai pemimpin. Suatu kondisi yang  selama ini adalah  tugas yang diemban oleh pria. Diramalkan ke depannya, pada universitas  sepopuler Univesitas Harvard   akan datang masanya  wanita mulai muncul dominan dari pria.
Di negara kita saja, telah banyak posisi top yang dipegang oleh wanita, baik dalam dunia politik, bisnis, maupun dalam pendidikan. Tidak tanggung-tanggung  mulai dari jabatan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati, camat   serta jabatan kepala  biro dalam pemerintahan,  serta  komisaris, direktur, atau manajer dalam dunia bisnis  yang diserahkan kepada wanita. Termasuk dalam dunia pendidikan, berbagai jabatan penting  telah pula  dipercayakan kepada wanita,  seperti; rektor, dekan, ketua jurusan,  kepala dinas propinsi, kabupaten   serta   kepala sekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Bila mana dicermati, persaingan memasuki PTN  melalui berbagai macam seleksi yang dilakukan (SNMPTN, PMB, Undangan dsb) saat ini yang lebih mengandalkan aspek akademik dan cenderung  menghasilkan peningkatan kuantitas  mahasiswa wanita di berbagai perguruan tinggi, sehingga tidaklah berlebihan, bila  ke depan akan terjadi peningkatan kuantitas  wanita yang  mengisi lowongan kerja di berbagai  lembaga, termasuk  untuk menjadi guru dan dosen di perguruan tinggi. Penyebabnya, disamping peningkatan jumlah mahasiswa  juga disebabkan  karena  kebanyakan mahasiswa yang  berprestasi unggul  pada PTN sekarang  justru didominasi oleh wanita,  sehingga untuk mendapatkan dosen atau guru yang berkualitas, mau-tidak-mau  pilihan  justru akan  jatuh kepada wanita. Kondisi ini tentu saja memberi peluang yang besar kepada wanita untuk  menjadi pemimpin dalam pendidikan masa depan.  Suatu kondisi yang amat berbeda dengan sebelumnya,  dimana wanita diliputi rasa tak percaya diri dan  rag, telah menjadi situasi yang serba memungkinkan untuk dilakoni wanita

3.  FAKTOR PENDORONG

Wanita yang menjalani hidup sebagai wanita kerier ini banyak tersebar pada berbagai lembaga, baik pada lembaga pemerintahan, seperti Peggawai Negeri Sipil (PNS) TNI, POLRI atau pada BUMN dan swasta.

Apakah yang mendorong wanita menjadi wanita karier  atau sebagai pekerja  itu? serta mengapa dalam bidang tertentu justru jumlah wanita  lebih banyak dan perannya lebih dominan bila dibandingkan dengan pria?.  Cox (1993) Strong & Vault  (1998) telah mengidentifikasi adanya 5 (lima) macam kondisi yang menjadi faktor pendorong bagi wanita untuk menjadi wanita karier itu.

         a.  Kebebasan Memperoleh Pendidikan
Kemajuan yang paling terasa dalam dunia pendidikan dewasa ini adalah semakin terbukanya peluang  bagi wanita untuk memasuki dunia pendidikan. Semua jenjang dan jenis pendidikan bebas dimasuki wanita. Hampir-hampir tidak ditemukan lagi pendidikan khusus bagi pria. Semua jurusan dan program studi, mulai dari humaniora sampai engenering terbuka dimasuki tanpa membedakan jenis kelamin.
Kebebasan   untuk mengikuti pendidikan ini, ternyata secara tidak senggaja memberi kesempatan kepada wanita untuk memenangkan persaingan dalam memperoleh lapangan pekerjaan. Mengapa demikian ?. Pendidikan  yang sekarang ini bagaikan  pasport  memperoleh pekerjaan, telah membuat kasta  baru dunia kita. Orang  dianggap cakap, mampu, dan layak diterima dalam suatu pekerjaan dengan melihat pendidikannya. Ditambah lagi, keberhasilan dalam proses pendidikan, atau kemampuan akademik yang dilambangkan IPK (Indek Prestasi Kumulatif)  justru dijadikan pula sebagai barometer untuk pertimbangan dalam menerima  calon pekerja.
Kondisi ini telah menggeser persaingan untuk mendapatkan pekerjaan menjadi perseteruan untuk memperoleh tempat dalam dunia pendidikan. Merebut peluang dalam dunia pendidikan jauh lebih objektif, ilmiah, serta tidak deskriminatif  terhadap gender.
Karena persaingan memperoleh pendidikan lebih ditentukan oleh kemampuan akademik, justru posisi wanita sangat diuntungkan. Sejak dari kecil, aktivitas anak wanita  sering dikontrol dibandingkan anak laki-laki, mereka dibatasi keluar rumah, sehingga mereka punya banyak waktu di rumah dan biasanya dimanfaatkannya untuk belajar. Sehingga  wajarlah bilamana hasil belajar anak wanita lebih baik dari anak laki-laki.  Tujuh atau delapan orang dari 10 besar di sekolah-sekolah justru didominasi oleh anak wanita. Sehinggga tidak mengherankan, pada fakultas sekarang ini, dibanjiri oleh mahasiswa wanita. Mereka dapat mengalahkan dominasi pria. Bahkan pada fakultas tertentu,  Fakultas Sastra, Fakultas Ilmu Pendidikan,  Fakultas Ekonomi, Fakultas Keperawatan dan Kesehatan,  hampir 75% mahasiswanya adalah wanita.
Dengan keberhasilan wanita  memasuki berbagai fakultas tersebut, maka terbuka peluang bagi wanita untuk mengisi kesempatan kerja yang tersedia sebagaimana  layaknya pria. Dengan demikian, kebebasan memilih atau memasuki dunia pendidikan berarti  memberi kebebasan kepada wanita untuk  memasuki lapangan kerja sesuai dengan pendidikan tersebut.


     b.  Tekanan Ekonomi
Tekanan ekonomi dan biaya hidup  yang tinggi telah membuat banyak wanita pusing dalam berbelanja. Dengan standar gaji yang rendah pada banyak negara  berkembang,  serta harga barang kebutuhan yang selalu naik akibat inflasi yang tinggi, gaji yang diterima  hampir-hampir tak bisa  lagi mencukupi  hidup keluarga. Kalaupun dihemat, kebanyakan gaji hanya  dapat dipergunakan sekedar  bertahan hidup, makan dengan gizi rendah dan beli pakaian satu-dua dalam setahun. Sedangkan untuk beli  kenderaaan, rumah, serta biaya pendidikan anak tak mungkin terpenuhi dengan gaji seorang suami.
Kondisi ini sungguh menyudutkan para isteri yang tak bekerja. Banyak para wanita  frustrasi memandang masa depan keluarganya. Membiarkan suami bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka berarti menghadapi resiko besar, akan kesulitan biaya hidup dan morat marit. Untuk meringankan beban suami, banyak wanita  yang  bersedia keluar rumah mencari pekerjaan. Karena tidak selalu bebas dalam memilih pekerjaan itu, tidak jarang   wanita harus bekerja sebagai buruh kasar  pada pabrik dan perkebunan, cleaning services, sales, pramuniaga,  atau bahkan menjadi pedagang kaki lima.

 Tekanan ekonomi ini, tidak hanya mendorongg para wanita yang sudah melangsungkan perkawinan, tetapi juga memberi  inspirasi  bagi wanita muda untuk mengantisipasinya. Keinginan untuk memiliki sumber penghasilan sendiri adalah cita-cita atau idaman para wanita muda, agar setelah menikah dapat meringankan suami dalam memenuhi kebutuhan hidup  keluarga.  Inilah  yang memicu banyaknya wanita sekarang ini,  memburu pekerjaan sebelum memikirkan pernikahannya.
c.  Terbukanya Lapangan Kerja Baru
Munculnya wanita karier juga disebabkan oleh perkembangan pekerjaan itu sendiri. Perkembangan dan kemajuan IPTEK telah membuka peluang munculnya berbagai jenis dan bentuk pekerjaan baru.  Perkembangan  pekerjaan baru tersebut sangat signifikan bagi wanita untuk menjadi pekerja.  Hal ini disebabkan, karena ada beberapa jenis pekerjaan tersebut cocok atau membutuhkan tenaga wanita, seperti medis, pramuniaa, entertainment serta  pelayanan umum lainnya.  Adalakanya pula, bahwa pekerjaan tersebut  lebih  diinginkan  oleh wanita, dan tidak disukai pria, seperti  pekerjaan yang bersifat paroh waktu, sambilan, dan borongan yang tidak terikat, sperti menjahit, membuat kerajinan, tempat penitipan anak dsb. Pekerjaan ini amat cocok dengan wanita mengingat keterikatan mereka memasak dan mengurus anak. Mereka dapat melaksanakan perannya sebagai ibu dan mengisi waktu luangnya untuk bekerja.

Kondisi ini tentu saja menjadi daya tarik tersendiri bagi wanita untuk menjadi pekerja. Pada mulanya mungkin sekali mereka iseng, cari pengalaman, atau coba-coba. Tetapi banyak diantara mereka yang sudah terjun justru melibatkan diri lebih dalam untuk menekuninya. Kemampuannya berkembang, dan tak jarang berhasil menjadi pekerja profesional. Mereka terus bekerja  kendatipun dituntut untuk mengemban misi sebagai ibu di rumah.

d. Temuan Alat Kontrasepsi
Canggihnya teknologi bidang reproduksi, mulai dari teknologgi pembalut, pengaturan siklus bulanan, alat atau obat-obatan kontrasepsi, sampai pil aborsi dan rekayasa genika serta teknologi bayi tabung, telah memperkecil jurang perbedaan antara pria-wanita dalam hal waktu dan penampilan.
Banyak hambatan dan pantangan  yang diberlakukan kepada wanita sejak abad pertengahan dulu ternyata menyudutkan wanita pada posisi yang lemah dan serba keterbatasan. Sampai-sampai adanya deskriminasi terhadap  wanita dibidang upah, tanggung jawab dan jenjang karier. Sehingga  wanita dinomor-duakan dalam berbagai bidang pekerjaan.
Dengan kemajuan alat kontrasepsi, wanita punya kesempatan untuk mengatur kelemahan fitrahnya. Kalau di zaman   Mesir Kuno dulu, seorang permaisuri dalam keadaan kedatangan siklus bulanan justru dijauhkan dan tak boleh makan bersama raja, dia diasing di tempat tertentu. Karena waktu itu amat sulit bagi wanita untuk mengatasinya termasuk mengusir baunya.  Tapi dengan  temuan pembalut yang tipis tapi menyerap lebih banyak. Siklus bulanan menjadi enteng dan tak menganggu penampilannya. Meskipun  dalam menstruasi  mereka tetap percaya diri, tak khuatir dengan rembesan atau bau, pede aja lagi ! Sekarang sulit dikenali apakah seorang wanita itu sedang mendapatkan siklus bulanan atau tidak.

Kemajuan dalam teknologi di bidang reproduksi, maka wanita sekarang dapat mengatur waktu hamil dan melahirkan, mengatur jumlah dan jarak kelahiran anak. Mereka bisa menyesuaikan dengan tuntutan pekerjaan mereka, sekalipun harus menunda untuk tidak hamil / melahirkan. 

Sehingga memungkinkan wanita memiliki kesempatan dan waktu bekerja hampir sama dengan  waktu bekerja pria.


Meskipun tidak langsung mendorong wanita menjadi wanita karier, namun setidaknya kondisi ini telah menjadikan kondisi  terbebasnya wanita dari  keterbatasan fitrahnya selama ini, mereka leluasa dan memungkinkan  bekerja tanpa cacat. Sehingga  dengan sendirinya mereka dapat memenuhi standar kerja layaknya pria, dan dapat memperoleh pengakuan serta penghargaan, ini telah memberi peluang bagi wanita untuk meniti karier sampai ke puncak. Mereka dapat merebut kepercayaan untuk menjadi pemimpin atau menager baik lembaga pemerintahan atau swasta.

e.  Mengatasi Dominasi Suami
Ketika masih remaja, banyak wanita berangan-angan mendapatkan suami yang tampan,  sukses, memiliki penghasilan besar, serta sabar dan penyayang  kepada isteri. Mereka tinggal mengabdi kepada sang suami, tinggal di rumah, memasak, serta mengurus anak. Mereka tak perlu susah-susah kerja cari uang. Suatu peran yang dilakoni wanita tradisional selama ini.
Seiring dengan bertambah usia, maka bertambah pula pengalaman  dan wawasan mereka. Sedikit demi sedikit mereka mulai sadar;  alangkah sulitnya menemukan calon suami yang gagah sabar atau penyayang serta punya penghasilan besar itu. Mungkin ditemukan ganteng tetapi tidak pnya penghasilan tetap, ada yang berpenghasilan lumayan tapi kasar. Ada yang ganteng punya penghasilan tetap dan penyayang tetapi sudah jadi miliki orang lain. Pokoknya  ada-ada saja kendalanya.
Dipihak lain,  boleh jadi mereka melihat, mendengar atau membaca dimedia masa, seringkali wanita diperlakukan kasar oleh sang suami, ditelantarkan, disiksa, diperbudak, bahkan diceraikan dan ditinggalkan dengan  satu atau beberapa orang anak.
Semakin besar sang wanita semakin sadar mereka, bahwa menjadi isteri  pengabdi suami,  meskipun memungkinkan, justru  tidak  lagi disukainya. Wanita saat ini mulai ogak untuk sepenuhnya menggantungkan diri pada suami. Kondisi ini membuat hampir  semua wanita  muda memiliki rasa cemas dan kekhuatiran  yang mendalam  bila mereka tidak bekerja, suami bisa berbuat semena-mena, menginjak perasaannya, berselingkuh dengan wanita lain  dan bahkan  mungkin sekali meninggalkan mereka dengan anak dua atau lebih. Angan-anggan  mereka dulu  sekarang  jadi  berubah 180 derjat.
Oleh karena itu, mendapatkan pekerjaan tetap dengan penghasilan sendiri sudah menjadi cita-cita semua wanita  dan sangat membahagiakan dirinya daripada ketergantungan kepada suami yang masih mesterius  itu. Bagi wanita  karier sekarang ini, penghasilan yang mereka terima meskipun kecil, namun  dengan pekerjaan dan penghasilan tersebut dapat dijadikan alat perjuangannya melawan dominasi suami, atau  setidak-tidaknya untuk berjaga-jaga agar suami tidak lancang  berbuat semena-mena terhadap mereka.

      3.  PELUANG DAN TANTANGAN WANITA KARIER
Keberhasilan wanita mengembangkan diri  atau bekerja  di luar rumah telah menempatkan penghargaan positif terhadap wanita, bahkan ada  beberapa wanita  justru lebih  berhasil memperoleh posisi dan jabatan puncak. Tidak ada lagi halangan bagi wanita untuk memperoleh dan memasuki jenjang pendidikan yang selama ini terbatas bagi  pria. Tidak ada lagi keheranan bila wanita mencapai jenjang tertinggi dalam pendidikan. Juga tidak menjadi asing lagi mendengar wanita  menjadi pimpinan perusahaan  atau lembaga  pemerintahan. Sebut saja misalnya, Arroyo dari Fillipina, Megawati dari Indonesia berhasil terpilih menjadi presiden negara Asia Tenggara,  termasuk  Aun San Sue Ky  kendatipun  dilengserkan meliter, tetapi ia adalah wanita yang terpilih menjadi Perdana Menteri  Birma.
Keberhasilan wanita menjalani karier di luar rumah tersebut tentu saja mengurangi waktu, perhatian, serta  perannya di dalam keluarga. Kemunculan wanita karier mengundang banyak perubahan dalam kehidupan keluarga; Kebiasaan, tanggung jawab tata hubungan suami-isteri  dan anak  mengalami pergeseran. Perubahan ini terkadang membawa implikasi yang positif, namun tak jarang pula justru berbuntut negatif. Tidak hanya pada keluarga itu sendiri, tetapi bagi masyarakat secara keseluruhan. 

Diantara dampak yang dilaporkan oleh  Hanson & Bozett (1997) Sitzer  &  Witney  (1997)  antara lain:

a.       JODOH DAN PASANGAN
Diakui, bahwa keberhasilan wanita dalam karir dewasa ini telah menyentakkan remaja  putri.  Bagaikan kuda kena cambuk, kaum wanita mulai  berpacu menguber setiap kesempatan bekerja. Di balik adanya desakan ekonomi, menjadi wanita karier telah tumbuh menjadi cita-cita hampir seluruh wanita. Menjadi ibu rumah tangga, alias tak bekerja,  nampaknya telah menjadi momok yang menakutkan wanita.  Mereka sangat cemas, bila tak bekerja akan merasa terjajah, terpasung, serta akan rendah diri. Bahkan, bila tak bekerja, mereka akan sulit menemukan jodoh yang baik. Karena itu, banyak wanita muda mencari  pekerjaan karena adanya dorongan untuk bisa  mendapatkan jodoh yang baik, takut terjajah dan diperlakukan semena-mena oleh suami mereka.
Sama halnya dengan pria, banyak wanita yang mengutamakan pekerjaannya sebelum ia mencari jodoh. Artinya, mereka lebih suka melangsungkan perkawinan bila mereka sudah bekerja pula. Bila mereka dalam pendidikan keinginan untuk menikah ditekan sedemikian rupa sampai mereka memperoleh pekerjaan. Suatu proses yang  cukup lama.  Sehingga akibatnya, banyak wanita muda  yang menunda perkawinan mereka karena inggin mendapatkan pekerjaan terlebih dulu.

Kecenderung ini semakin lama semakin jelas. Bagi wanita yang tak bekerja ada kecenderungan  untuk kawin di  usia muda. Beda dengan wanita  yang berkeinginan bekerja justru cenderung memperlambat perkawinan mereka, dewasa ini banyak  wanita yang melangsungkan pernikahan di atas usia 25  tahun, bahkan  di atas usia 30 tahun karena menggejar karier ini.

Kondisi ini, meskipun tidak berdiri sendiri, tapi setidak-tidaknya nyata terasa saat ini.  Persoalan usia perkawinan tidak lagi begitu mencemaskan wanita karier itu sendiri. Dalam kondisi tertentu, wanita karier bahkan siap menghadapi hidup tanpa perkawinan.

b.        HUBUNGAN SUAMI ISTERI
   Kesempatan yang dimiiki kaum wanita ini telah mengalihkan posisi wanita  dalam kehidupan rumah tangga. Ukuran tradisional seorang isteri yang baik; pintar memasak dan  memuaskan di tempat tidur, sudah menjadi  kriteria yang menyakitkan bagi wanita. Menjadi istri pengabdi suami tersebut justru ditolak, tidak disukai lagi,  para wanita muda sekarang. Sebaliknya juga dikalangan pria perkotaan terjadi pula perubahan. Pria juga lebih menyukai bilamana isterinya  adalah juga pekerja. Cepat atau lambat, di masa datang, pria justru mensyaratkan calon isterinya adalah wanita pekerja. Kecenderungan ini sangat terlihat pada  pegawai pemerintahan. Seorang suami  pegawai pemerintahan  lebih menyukai nikah dengan wanita pegawai, mereka mau menjalin hubungan serius dengan wanita, biamana wanita tersebut memiliki prospek yang baik.  Meraka demikian cemas bilamana mengambil isteri dari wanita pengabdi suami. Sebuah pergeseran nilai yang benar-benar sedang terjadi di sekitar kita.

 Bersatunya  dua orang suami dan isteri pekerja,  menimbulkan implikasi  terhadap hubungan pasangan tersebut. Keberhasilan wanita dalam pekerjaannya, membuat sang isteri merasa tidak tergantung kepada sang suami. Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaannya menempatkan fungsi yang sejajar dalam  memenuhi kebutuhan rumah tangga. Akibatnya, ketergantungan sang isteri kepada suami  mulai berkurang. Bahkan bilamana  penghasilan isteri lebih besar dari sang suami, banyak isteri merasa lebih tinggi dan merendahkan suaminya.

Akibat berikutnya, muncul tuntutan kesejajaran yang lebih luas. Dalam melaksanakan tugas tugas rumah tangga, wanita menuntut pula partisipasi dari suaminya. Mulai dari mengasuh anak, memandikan anak, menyiapkan pakaian anak, mencuci, memasak, menyiram kembang, berbelanja bahkan sampai untuk menyapu rumah. Pekerjaaan yang selama ini dilakukan para wanita.
Untuk hubungan ke luar, tututan kebebesan akan muncul. Baik dalam berpergian,  melakukan hubungan kerja dengan orang lain. Pada gilirannya,  menjadi tidak asing lagi bila sang isteri menolak ajakan sang suami, gara-gara sang isteri  keletihan sehabis bekerja siang harinya, atau karena harus menjalani suatu tugas esok harinya.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan terhadap wanita pekerja (Sutja,2005), bahwa sebagian besar wanita karier dalam kurun waktu seminggu terakhir, pernah  menolak ajakan suami untuk berhubungan seks. Apakah ini yang menjadi penyebab maraknya terjadi perselingkuhan dewasa ini ?
Disamping itu, banyak wanita karier menggunakan jasa orang lain melayani kebutuhan suaminya, seperti  dalam menyiapkan makanan, minuman, atau pakaian sebab sang isteri  merasa kewalahan harus mengerjakan pekerjaan rumah tersebut.

Namun dari penelitian tersebut juga diketahui hal-hal yang positif dalam hubungan suami-isteri, yaitu Adanya kebebasan isteri berpergian  untuk hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya, wanita karier tidak merasa terbelenggu, terkekang, tidak bebas akibat  pernikahannya.
a.           
b.         tersebut.sehingga banyak wanita yang terhindar dari
c.          Masih adanya  rasa  ketergantungan isteri terhadap suami sehingga menjadikan kehadiran dan tanggung jawab suami dibutuhkan wanita karier
Akan tetapi juga ditemukan ha-hal yang diperkirakan akan berdampak negatif yaitu:
a.    Masih belum adannya kebebasan wanita untuk berbelanja dan perlu  adanya izin suami
b.   Menemukan pekerjaan rumah lebih berat dari suami
c.    Adanya bantuan orang lain untuk melayani kebutuhan suami
d.   Menunda atau menolak ajakan suami dalam berhubungan seksual,Hal ini memungkinkan sang suami bisa mencari pemuasan di luar rumah, seks bebas atau selingkuh dengan wanita lain.

c.        NILAI  ATAS  ANAK
Disadari atau tidak, bahwa hamil dan melahirkan anak adalah salah satu  yang dianggap sebagai penyebab gangguan keberhasilan karier dari wanita. Melahirkan anak berarti mengurangi kebebasan wanita untuk berkarir. Sadar atau tidak,  wanita karier enggan sekali kehilangan kebebasannya sebagai konselkuensi dari pekerjaannya.

Oleh karena itu, banyak wanita karir yang dihadapkan  kepada pilihan karir atau anak.  Meskipun  ingin mencari solusi yang tengah, karir iya dan anak iya, maka mulailah dalam keluarga karir dipikirkan kapan dan bagaimana dengan  kelahiran anak. Melalui temuan bidang  kontrasepsi; Ada sebagian, yang mendahulukan karir baru kemudian melahirkan. Hal semacam ini juga ditulis oleh Alfin Tofler (1988) dalam bukunya terkenal Future Shock.

Suatu kompromi mungkin akan berupa penundaan waktu beranak bukan tanpa anak sama sekali. Banyak pria dan wanita  masa kini yang terombang-ambing dalam konflik antara komitmen pada karir atau komitmen pada anak. Di  masa depan, banyak pasangan akan menghindari persoalan ini dengan menunda seluruh kewajiban mengasuh anak sampai sesudah pensiun.

 Namun  semakin besarnya kecenderungan keluarga inti, nilai anak menjadi  kabur pula bagi orang tua. Memiliki anak atau tidak, toh anak juga tidak akan merawat orang tuanya. Di masa tua, pasangan suami isteri akan kembali hidup berdua. Maka kehilangan kebebesan akibat punya anak ini telah mendorong munculnya keinginan banyak wanita untuk tidak punya anak. Kalaupun akan punya, cukup hanya satu saja sebagai pengikat,  buah perkawinan.

Bahkan ada sikap yang sangat ekstrim pada segelintir wanita yang memutuskan untuk tidak  mau melahirkan anak. Badan  Penelitian Kependudukan di Amerika  meramalkan, bahwa wanita yang menempuh jalan ekstrim ini semakin besar di masa mendatang. Kebanyakan wanita yang tidak punya anak  setelah diteliti, ternyata juga merasakan kebahagiaan perkawinan mereka sebagaimana pada keluarga yang punya anak.
Pada berbagai belahan dunia, Amerika dan Eropah,  sekarang ini bermunculan berbagai organisasi yang mengajurkan kepada keluarga untuk bebas anak. Mereka dengan gigih melindungi hak-hak keluarga tanpa anak, dan menentang kampanye pro anak. Akankah kondisi itu masih lama  sampai ke Indonesia ?

d.         PRO KELUARGA INTI
               Perkerjaan tidak selalu tersedia pada tempat kelahiran. Hampir seluruh pekerja memperoleh pekerjaan di luar tempat atau daerah kelahirannya. Banyak wanita karier memiliki kemauan yang kuat dan sanggup berimigrasi mengikuti tempat pekerjaan. Banyak wanita menjadi urban, meninggalkan desa untuk bekerja dan tinggal di tempat kerjanya. Bahkan adakalanya, bisa saja antar propinsi atau lintas negara sekalipun.

Meninggalkan tempat kelahiran akan berarti  mengurangi keterkaitannya dengan keluarga asal; orang tua, saudara, atau famili lainnya. Hidup sebagai wanita karier di tempat baru  memerlukan  kondisi keluarga yang mobiler, simpel dan mudah dibawa. Tuntutan pekerjaan menempatkan  wanita karier untuk siap pindah atau terpisah.

Meskipun adanya keinginan membentuk keluarga besar (extended family), baik karena nilai budaya dan keagamaan, namun peluang terbentuknya keluarga inti (nuclear family) pada   wanita karier lebih besar. Tanpa terprogram sekalipun,  wanita karier justru cenderung membentuk keluarga  inti; terdiri dari suami-siteri dengan satu dua atau tiga anak.

Peluang menjadi keluarga besar dengan tiga generasi atau  lebih sangat kecil kemungkinannya. Pasalnya; Pertama, perpindahan  yang mungkin sekali jauh dari tempat kelahiran  akan menyulitkan bagi anggota keluarga asal untuk ikut pindah dan  hidup bersama wanita karier. Kedua,  wanita karier yang terikat dengan jam kerja akan  pergi bersama suami dan anak-anak meninggalkan rumah, baru sore atau larut malam dapat  kembali. Kondisi ini sangat membosankan, membuat tak betah atau kesepian bagi anggota keluarga  yang ikut.

Akibat yang tak terelakkan berikutnya boleh jadi keluarga besar (extended family) yang selama ini dipertahankan masyarakat akan menjadi luar biasa di masa mendatang. Hidup  bersama  wanita karier tidak disukai oleh generasi  di atasnya. Mereka menjadi kesepian dan mungkin sekali merasa sebagai tamu dari keluarga  wanita karier itu. Orang akan menjadi aneh dan bertanya-tanya mengapa harus menerima  keluarga besar. Masihkah akan lama, bila seorang anak bertanya kepada ibunya “Mama !, mengapa nenek itu harus tinggal di rumah kita”. Suatu kondisi  yang dapat dijadikan wacana  di masa depan.


e.        PENGASUHAN ANAK
Sedikitnya waktu bagi  wanita karier di rumah justru prima-kausa  terdorongnya  peralihan tugas dan tanggung jawab dalam melaksanakan pekerjaan rumah tangga, termasuk tugas mengasuh dan mendidik anak.  Dalam pelaksanaan tugas rutin, seperti memasak, mencuci serta menyapu bisa teratasi dengan alat-alat elektronik, namun dalam  mengasuh dan mendidik anak mau tidak mau membutuhkan adanya orang dewasa.

Mengingat hal ini, kehadiran akan Pekerja Rumah Tangga (PRT)  semakin dibutuhkan.  Meskipun  tidak teralalu sulit mencari  PRT ini, dan disetiap kota  banyak  perusahaan AKAD yang menawarkan jasa ini, namun  untuk pekerjaan mengasuh dan mendidik anak telah menjadi pemikiran dan problem tersendiri bagi keluarga wanita karier.

Menyerahkan pengasuhan dan pendidikan anak pada PRT yang direkrut dari  masyarakat biasanya berasal dari desa, dari keluarga tak mampu. Meskipun tidak bodoh, tetapi jelas memiliki pendidikan rendah, besar kemungkinan tidak sejalan dengan harapan keluarga Wanita Karier. Sebab, PRT akan banyak dipengaruhi oleh pola asuh dan didikan yang diterimanya dari orang tuanya dulu. Atau kalaupun  mereka menangkap keinginan keluarga  wanita karier tentu saja sangat terbatas. Sehingga tidak jarang, akibatnya dirasakan setelah anak menjadi dewasa. Mereka  banyak dipengaruhi oleh pola pikir dari pengasuhnya.

Disamping adanya kemungkinan merekrut PRT dalam megasuh dan mendidik anak dalam masa-masa pekanya (balita), juga secara diam-diam akan terjadi pergeserah sebagian atau seluruhnya pengasuhan dan pendidikan anak  ini ke tangan sang ayah. Suatu hukum alam, bila karir  suami lebih rendah dari suaminya,  maka suami akan mengambil alih peran  wanita karier yang terabaikan. Anak lebih banyak mendapat asuhan dan didikan sang ayah dari pada ibu.

Kondisi ini akan semakin ruwet, bilamana  kedua kemungkinan di atas tidak terciptakan. Tidak ada PRT dan suami juga  perhatian terhadap karirnya. Maka alternatif lain yang mungkin mengalihkan mengasuh dan mendidik anak adalah anggota keluarga,  nenek/kakek atau saudara. Meskipun sangat memungkinkan sekali, namun biasanya akan ditemukan kembali perbedaan dalam pola asuh dan pendidikan yang dilakukan oleh nenek/kakek.

Terakhir dan gejala yang nampaknya akan menjadi nyata bagi kita di masa mendatang adalah munculnya  kalangan orang tua profesional. Gejala ke arah itu nampaknya mendapat minat yang luar biasa bagi keluarga wanita karier . Munculnya penitipan anak, play group, atau  sekolah-sekolah dengan full day school, suatu hal yang mewadahi harapan ini.  Namun, ini akan terus bergulir, dan munculnya  orang tua profesional dalam mengasuh anak sejak dini. Apakah hal yang mengherankan, bila suatu saat seorang  Ibu  wanita karier yang baru melahirkan mengumumkan mencari Ibu susu bagi anaknya. Suatu kebisaan yang pernah terjadi di dunia Arab di zaman jahiliyah dulu. Kini akan terulang karena orang tua gila kerja, atau diperbudak kerja.

f.          MENJADI ORANG TUA SOLO

            Hampir-hampir tak mungkin lagi  dihindari oleh keluarga wanita karier, adanya perbedaan antara tuntutan karir di antara mereka. Mutasi atau perpindahan tempat tugas telah menjadi keharusan dalam beberapa bidang pekerjaan. Departemen kuangan (karyawan pajak, KPN.) BPK,  TNI/POLRI,  Pelabuhan, termasuk dilingkungan kehakiman dan kejaksaan  telah menjadikan mutasi antar daerah suatu keharusan.

            Oleh karena itu, keluarga  wanita karier berpeluang sangat besar untuk hidup terpisah. Keluarga  wanita karier lebih toleransi hidup terpisah dari pada kehilangan pekerjaannya. Salah satu diantara mereka akan  membujang dan satu lagi hidup bersama anak dan menjadi  orang tua solo (single parent). Beban menjadi orang tua solo ini nampaknya masih banyak dilakoni para  wanita karier itu sendiri. Meskipun jumlah  wanita karier yang menjadi orang tua solo ini tidak terdaftar dalam statistik, namun untuk mencari  contoh  mereka dapat diamati dalam lingkungan kerja terdekat saja. Atau setidak-tidaknya, hampir separoh dari keluarga  wanita karier pernah mengalami  jadi orang tua solo untuk jangka waktu lebih dari dua tahun lamanya, atau setidak-tidaknya dalam beberapa minggu.

 

         

     
Meskipun plus minus  wanita karier dalam keluarga ini masih menjadi  perdebatan,  tetapi gerak ke arah berkembangnya  wanita karier tidak mungkin lagi terbendung. Daya tarik  wanita karier tidak hanya  memikat wanita, tetapi juga disukai kaum pria. “Di masa  mendatang”, tulis Tofler “ bahwa kaum pria akan menjadikan syarat apakah pekerjaan wanita yang akan dinikahinya”. Luar biasa!. Suatu syarat yang hanya menjadi pertimbangan  wanita saat ini akan juga menjadi pertimbangan pria di masa mendatang demikian Tofler  (2001) mengambar untuk  perkawinan masa datang. 
    
       Munculnya  wanita sebagai pekerja mengundang banyak perubahan dalam kehidupan keluarga. Kebiasaan, peran, tanggung jawab serta tata hubungan suami isteri mengalami banyak pergeseran.  Perubahan ini, terkadang membawa implikasi yang positif, namun juga  berbuntut negatif. Tidak hanya bagi keluarga itu sendiri, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan.

Munculnya Wanita Karir, dapat memperkuat keluarga. Adakalanya memberi peluang untuk keberhasilan suaminya. Di rumah jadi pasangan dan teman tidur, di luar sebagai mitra yang siap saling membantu. Kehidupan mereka sangat dinamis, dan kemudahan, sehingga nampak sangat bahagia.

Akan tetapi, tak jarang pula,  hadirnya  wanita karier justru menjadi awal dari petaka keluarga. Tidak jarang kita lihat suatu kondisi yang paradoks,  mereka bisa berhasil dalam karir tetapi gagal dalam keluarga. Kehidupan rumah tangganya sering bertengkar atau terasa hampa. Meskipun serumah, tapi mereka jalan sendiri-sendiri. Di kantor dapat memenej orang berbuat tapi dirumah gagal  mendidik anak sendiri. Di kantor berwibawa di rumah tak berdaya. Di kantor begitu sabar di rumah justru mudah emosional. Tak mustahil, kita bias melihat,  anak dokter kurang gizi, anak guru tidak naik kelas, anak pengusaha menjadi pencuri,  anak  polisi  terlihat kriminal, dan sebagainya. 







       
  

1.  Persoalan Jodoh dan Pasangan
Dalam  menelusuri dampak positif dan negatif persoalan jodoh dan pasangan ini kepada responden diajukan sejumlah pertanyaan. Topik topik pertanyaan dan sebaran jawaban responden  dapat dilihat  pada gambaran sebagai berikut:

 

TABEL 2

         Sebaran jawaban responden tentang Persoalan Jodoh

No
Pertanyaan
       SEBARAN JAWABAN
KLASIFIKASI
f
%
Bobot
1
Usia  saat melaksana-kan perkawinan per-tama
<25 th
13
31
26
26-29
26
61,9
26
> 30 th
3
7,1
0
2
Status pekerjaan saat melangsungkan perka-winan

Belum bekerja
2
4,7
4
 Dalam proses/ men-cari pekerjaan
6
14,3
6
Sudah bekerja
34
81
0
3
Penemuan pasangan
Pilihan sendiri Pacaran
36
85,7
72
Dijodohkan keluarga
6
14,3
6
Biro/Sahabat Pena
0
0
0
4
Perbandingan usia de-ngan suami
Suami lebih tua
11
26,2
22
Sebaya (selisih tdk lebih dari 6 bln )
22
52,4
22
Suami lebih muda
9
21,4
0
5
Status pekerjaan pa-sangan
Bekerja (PNS/Swasta)
18
42,8
36
Tidak tetap
17
40,5
17
Tidak bekerja
7
16,7

7


Asal pasangan
Ada hub. Keluarga
2
4.8
4
Satu etnis/daerah
22
52,4
22
Beda etnis.daerah
18
42,8
0


Jumlah/Prosentase bobot  588

44,7
263


Dari tabel   di atas, terlihat bahwa sebagian besar  (61,9%) wanita karier melaksanakan perkawinan  di kala usia 26-29 tahun. Hanya sebagian kecil (28,6%) pada usia di bawah 25 tahun, juga ada 7,1% kawin diatas usia 30 tahun. Pasangan didapatkan sebagian besar (81%) sesudah  bekerja dan sebagian besar pula (85,7%) menyatakan atas pilihan sendiri (pacaran). Sebagian (42,9%) menyatakan mendapatkan suami yang bekerja tetap sebagai PNS/Swasta,  sebagian (40,5%)mendapatkan suami yang tidak tetap kekerjaannya, bahkan sebagian kecil (16,7%) mendapatkan suami yang  tidak memiliki pekerjaan. Perkawinan dilakukan oleh sebagian mereka dengan suami berbeda etnis dan sebagian satu etnis  namun  bukan dari kalangan famili.

Dengan perhitungan bobot terhadap persoalan pasangan ini ditemui, bahwa  mutu pasangan  wanita karier berada pada kualitas sebagian positif  dan sebagian negatif.  Nilai positif yang ditemukan adalah

a.  Wanita     karier mendapatkan      suami sesama PNS/Swasta
 Hal ini akan memudahkan diantara mereka untuk saling memahami kondisi masing-masing dan pada gilirannya akan menjadi  asset membina  keserasian antar kedua pasanga.

b.  Jodoh atas pilihan sendiri atau melalui pacaran
Dengan jodoh pilihan sendiri, maka sebelum melangsungkan perkawinan berarti masing-masing telah mengenal akan sifat-sifat pasangan dan setelah dipilih maka menimbulkan besarnya rasa tanggung jawab akan pilihan tersebut.

Namun  juga ditemukan beberapa tantangan yang diperkirakan memiliki dampak negatif adalah :

a. Usia perkawinan semakin  tinggi 26-29 tahun,   hal ini diperkirakan akan bermasalah dengan proses persalinan, namun mungkin juga positif karena mereka menjadi matang sebagai orang tua.
b. Pasangan dan  kemungkinan mendapatkan jodoh yang tidak bekerja tetap, atau tidak bekerja sama sekali, hal ini dimungkinkan karena jumlah wanita pekerja yang semakin dominan pada  setiap lapangan kerja,  dan tidak sebanding dengan jumlah prianya.
c. Satu dari dua wanita karier harus melaksanakan perkawinan dengan suami yang berbeda  etnis, sehingga  berkemungkinan  akan terjadi perbedaan nilai dalam rumah tangga. Dikhuatirkan hal ini dapat menimbulkan perbedaan nilai atau budaya yang dapat memicu kesalah-pahaman diantara mereka.

  2.  Persoalan Hubungan suami-isteri

Dampak positif dan negatif persoalan hubungan suami isteri dapat terbaca pada tabel di bawah, antara lain dalam berpergian meninggalkan rumah  sebagian besar (64,3%) responden wanita karier menyatakan bebas berpergian atau tanpa minta izin suami, sebagian kecil   (28,6%) yang menyatakan  kadang-kadang, dan hampir tidak ada menyatakan perlu minta izin suami. Sebagian kecil  wanita karier merasa siap, kadang-kadang atau tak siap  membiayai dirinya sendiri.

Dalam hal pembagian kerja, sebagian wanita karier (42,9%) menyatakan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya di rumah lebih berat dari suami, sebagian kecil (33,3%)menyatakan kadang-kadang, dan sebagian kecil lagi  (23,8%) menyatakan justru lebih ringan.

Dalam berbelanja,  sebagian besar wanita karier  (69,1%) menyatakan perlu minta izin suami dalam membelanjakan uang, sebagian kecil  menyatakan dapat dengan bebas dan sebagian kecil lagi kadang-kadang. Lihat tabel !
Tabel  4
 Sebaran Jawaban Responden tentang hub.  Suami-Isteri

No
Pertanyaan
SEBARAN JAWABAN
KLASIFIKASI
f
%
Bobot
1
Bebas pulang ke rumah rumah demi tugas
Ya
27
64,3
54
Kadang2
12
28,6
12
Perlu izin
3
7,1
0
2
Sanggup membiayai diri tanpa nafkah  dari suami
Ya
8
19,1
0
Kadang2
14
33,3
14
Tdk sanggup
20
47,6
40
3
Di rumah memiliki tugas/pekerjaan  yang lebih berat dari suami
Lebih berat
18
42,9
0
Kadang2
14
33,3
14
Lebih ringan
10
23,8
20
4


Dapat membelajakan uang untuk sesuatu tanpa minta izin suami.
Dapat
11
26,2
22
Kadang2
12
28,6
12
Tidak
29
69,1
0
5
Menggunakan jasa orang lain /pembantu untuk menyiapkan makanan, minuman suami.
Ya
17
40,1
0
Pernah
26
61,9
26
Tdk pernah
9
21,4
18
6
Mendapat bantuan suami untuk memasak, mencuci,  atau membersihkan rumah
Ya
21
50
0
Kadang2
17
40,5
17
Tdkpernah
4
9,5
8
7
Ada kalanya meminta suami un-tuk menunda hubungan seksual  karena keletihan atau ingat pekerjaan esok
Ya
15
35,7
0
Kadang2
19
45,2
19
Tdk pernah
8
19,1
16
8
Rasa marah di tempat kerja suka terimbas kepada suami
Ya
8
19,1
0
Kadang2
21
50
21
Tdk pernah
13
30,1
26

Bobot ideal /%

50,5%
339

Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti  makanan dan  minuman  sebagian (40,1%) menyatakan menyerahkan kepada pembantu  atau orang lain, dan  sebagian besar  pernah menyerahkannya kepada pembantu rumah tangga dan sejenisnya, dan hanya  sebagian kecil (21,4%) yang menyatakan tidak pernah.

Dalam hal pembagian kerja;  memasak, mencuci, atau membersihkan rumah,  hanya kecil sekali yang menyatakan tidak pernah dibantu suami. Sebagian wanita karier  (50%) menyatakan dibantu suami dalam pekerjaan rumah, sebagian lagi  (40,5%) menyatakan  kadang-kadang.

Hal yang amat menarik dalam penelitian ini  adalah,  hanya sebagain kecil (19,1%) wanita karier tidak pernah menolak ajakan hubungan seks dari suami, selebihnya;  sebagian kecil (35,7% ) justru tegas menyatakan  menunda hubungan seks dengan suami karena  keletihan bekerja atau karena ingat tugas pekerjaan esok harinya. sebagain (45,2%) menyatakan kadang-kadang meminta penundaan tersebut.

Terakhir, sebagian kecil wanita karier (30,1%) yang menyatakan tidak pernah merasakan hubungannya dengan suami terimbasan emosi kerja, tetapi sebagian (50%) menyatakan  kadang-kadang, dan sebagian kecil justru tegas menyatakan emosi ditempat kerja memberi imbasan terhadap hubungannya dengan suami.

Bila dilihat dari bobot atau kualita hubungan suami-isteri, maka kualitas  hubungan suami isteri wanita karier berkisar  50,5%  atau Sebagian positif  dan sebagian negatif.  Hal-hal yang positif terlihat

d.                        Kebebasan isteri berpergian  untuk hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya, sehingga banyak wanita yang terhindar dari perasaan terbelenggu dengan pernikahannya.
e. Masih adanya  rasa  ketergantungan isteri terhadap suami sehingga menjadikan kehadiran dan tanggung jawab suami dibutuhkan wanita karier
Akan tetapi juga ditemukan ha-hal yang diperkirakan akan berdampak negatif yaitu:
e.    Masih belum adannya kebebasan wanita untuk berbelanja dan perlu  adanya izin suami
f.     Menemukan pekerjaan rumah lebih berat dari suami
g.   Adanya bantuan orang lain untuk melayani kebutuhan suami
h.   Menunda atau menolak ajakan suami dalam berhubungan sekseual,Hal ini memungkinkan sang suami bisa mencari pemuasan di luar rumah, seks bebas atau selingkuh dengan wanita lain.

3.  Nilai anak dalam Keluarga
Nilai anak dalam keluarga yang merupakan konsekuensi dari wanita karier ini mempersoalkan  apakah  diantara wanita karier terjadi pergeseran tentang anak.  Dari temuan penelitian terlihat seperti tabel di bawah.
 
Tabel 4
Sebaran jawaban responden tentang nilai anak dalam keluarga.

No
Pertanyaan
       SEBARAN JAWABAN
KLASIFIKASI
F
%
Bobot
1
Merasa repot  dalam pekerjaan akibat mengurus anak dirumah.-
Ya
19
45,2
0
Kadang-kadang
17
40,5
17
Tidak
6
14,3
12
2
Siap menghadapi masa tua untuk tidak menuntut perawatan   dari  anak.
Ya siap
29
69,1
58
Ragu-ragu
10
23,8
10
Tidak siap
3
7,1
0
3
Khuatir akan repot adalah salah satu alasan untuk membatasi kelahiran anak

Sesuai sekali
12
28,6
0
Sebagian sesuai
21
50
21
Tidak sesuai
9
21,4
18
4
Merasa bahwa banyak  anak akan  bahagia dihari  tua
Ya
2
4,7
0
Belum tentu
13
31
13
Tidak
27
64,3
54

Jumlah Bobot /%


60,4
203

Dari tabel di atas diperoleh gambaran bahwa  sebagian kecil wanita  karier (14,4%) menyatakan tidak merasa repot dengan bekerja karena mengurus anak. Akan tetapi seabagain (45,2%) menyatakan repot  dan sebagian lagi (40,5%) menyatakan kadang-kadang direpotkan anak. Namun  sebagian besar (69,1% ) merasa siap di hari tuanya tanpa menuntut perawatan dari anak. Sebagian kecil (23,8%) yang ragu-ragu, dan hampir tidak ada yang tidak siap.

 Dalam memandang  kelahiran anak,  sebagian (50%)  menyatakan bahwamereka  membatasi kelahiran anak  sebagian alasannya  karena khuatir repot, dan menyatakan sangat sesuai dengan alas an repot 28,6%,  hanya 21,4%  menyatakan  membatasi kelahiran anak bukan karena takut repot. Hampir tidak adalagi wanita karier yang beranggapan, bahwa banyak anak akan bahagia dihari tua. Sebagian besar mereka (64,3%) menyatakan tidak, dan sebagai kecil (31%) menyatakan belum tentu.
Memperhatikan bobot jawaban responden, maka dapat diklasifikasikan bahwa  nilai anak pada wanita karier  berada pada criteria  cenderung positif (60,4%) Hal ini  berarti positif bagi program KB nasional, yaitu :
a.       Siap hidup pada hari tua tanpa harus meminta bantuan kepada anak
b.      Adanya pandangan anak banyak tidak lagi jaminan kebahagiaan di hari tua.
    
         Akan tetapi juga masih ditemukan kesan negatif pada wanita karier, mengurus anak merepotkannya sehingga sebagian mereka menjadikannya sebagai alasan untuk membatasi kelahiran anaknya.


4. Pro Keluarga Inti
       Persoalan kondisi keluarga, khsusnya keinginan untuk membentuk keluarga inti yang terdiri dari ayah-ibu dengan beberapa anak yang tak mungkin terelakan pada wanita karier,  maka wanita karier akan dihadapkan dengan berbagai keuntungan dan sekaligus tantangan. Dari lapangan ditemukan bahwa  sebagain wanita karier merasa tidak betah tinggal  dalam kekuarga besar, sebagian  (42,8%)  merasa tidak betah, hanya  sebagian kecil (26,2%)dan (31%)  yang menyatakan betah dan kadang-kadang betah.
         Dalam hal pengasuhan anak,  sebagian besar responden (73,*%) menyatakan beda prinsip atau tidak sependapat dengan orang tua/mertua mereka dalam pengasuhan anak. Hampir tidak ada (2,4%) yang menyatakan  melibatkan orang tua dalam mengatasi masalah mereka sebagai suami–isteri. Sebagian besar membatasi dan sebagian lagi kadang-kadang membatasi keterlibatan orangtua/ mertua dalam mengatasi masalah mereka. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah.

Tabel 5
Sebaran Jawaban Responenden tentang pro keluarga inti

No
Pertanyaan
       SEBARAN JAWABAN
KLASIFIKASI
f
%
Bo bot
1
Betah tinggal serumah/ dekat dengan orangtua atau mertua
Ya
11
26,2
0
Kadang2
13
31
13
Tidak
18
42,8
36
2
Berbeda prinsip dalam pengasuhan anak dengan orangtua/ mertua
Ya
31
73,8
62
Kadang2
7
16,7
7
Tidak
4
9,5
0
3
Membatasi keterlibatan orang tua/mertua untuk mengatasi masalah  hubungan suami-isteri
Ya
22
52,4
44
Kadang-kadang
19
45,2
19
Tak membatasi
1
2,4
0
4
Timbul masalah tertentu akibat kehadiran  saudara sendiri/suami
Ya,
9
21,4
18
Kadang2
21
50
21
Jarang
12
28,6
0
5
Membantu penbiayaan bagi orangtua/ mertua
Ya, rutin
15
35,7
0
Kadang2
22
52,4
22
Tidak rutin
5
12,9
10
6
Repot dengan banyak tamu yang tidak penting dari pihak keluarga sendiri atau kel. suami

Ya
13
31
26
Kadang2
20
47,6
20
Tidak pernah
9
21,4
0
7
Adanya hasrat atau keinginan pada hari tua untuk tinggal bersama anak /menantu



Ya
12
28,6
0
Ragu-ragu
25
58,5
25
Tidak menginginkan
5
12,9
10

Bobot ideal /prosentase


56,7
333

           

         Untuk  membantu orang tua, sebagian kecil  (35,7%) menyatakan membantu secara rutin, sebagian besar (52,4%) kadang-kadang, dan  sebagian kecil (12,9%) jarang membantu orang tua. Kehadiran keluarga  hanya oleh sebagian kecil (28,6%) responden  yang menyatakan tidak ada masalah,  selebihnya kadang-kadang menimbulkan masalah dialami sebagian (50%) mereka, dan sebagian kecil menyetakan bermasakah dengan kehadiran saudara kedua belah pihak.

        Hanya sebagian kecil (21,4%) responden   mereka tak merasa direpotkan oleh tamu dari keluarga, tetapi selebihnya  sebagian (47,6%) dan sebagian kecil (31%) justru kadang-kadang merasa di repotkan, sedangkan untuk hidup di masa mendatang hanya 28,6% yang menginginkan hidup bersama menantunya, sebagian besar menyatakan ragu-ragu dan 12,9% menyatakan tidak menginginkan.

          Bila dilihat dari dampak dari akibat pro keluarga inti ini, maka dapat ditafsirkan bahwa wanita karier menemukan sebagian positif dan sebagian negatif (56,7%)   Dampak positif yang menonjol adalah bahwa wanita karier memberikan bantuan pembiayaan kepada orangtua/ mertua mereka, namun aspek negatifnya mereka yaitu :
1.                   sering berbeda prinsip dengan orangtua/ mertua dalam pendidikan anak,
2.                   tidak mau lagi melibatkan orangtua/ mertua dalam persoalan yang muncul di rumah, khususnya persoalan hubungan suami-isteri.


5.  Orang tua solo

  Persoalanorang tua solo (single parent) adalah persoalan yang tidak mungkin dihindari wanita karier, di mana mereka harus melakoni fungsi ibu sekaligus sebagai ayah atau mungkin sebaliknya, seorang ayah melakoni fungsi ibu bagi anak-anaknya disamping fungsi utamanya sebagai ayah.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa  sebagian kecil  (23,*%) wanita karier  yang tidak pernah mengalami  terpisah dengan suami lebih dari 3 bulan. Sedangkan sebagian (57,1%) menyatakan pernah, dan sebagian kecil (19,1%) menyatakan berulang kali.  Wanita karier cenderung berangkat meninggalkan rumah untuk beberapa minggu. Hanya 11,8% menyatakan  tidak pernah berangkat meninggalkan keluarga, selebihnya  sebagian besar (61,9%) menyatakan pernah sesekali, bahkan sebagian kecil diantara wanita karier menyatakan telah berulang kali berpergian meninggalkan keluarga dalam tempo beberapa minggu. Lihat tabel di bawah !



TABEL   6
Sebaran Jawaban Responenden tentang Orangtua Solo

No
Pertanyaan
SEBARAN JAWABAN
KLASIFIKASI
F
%
Bobot
1


Tinggal terpisah dengan suami dalam waktu lebih dari 3 bulan karena tugas
Berulang kali
8
19,1
0
Pernah
24
57,1
24
Tidak pernah
10
23,8
20
2
Untuk beberapa minggu berangkat meninggalkan keluarga (penataran, dll)
Berulang kali
11
26,7
0
Pernah sesekali
26
61,9
26
Tidak pernah
5
11,8
10
3
Untuk beberapa minggu ditinggalkan suami bersama anak-anak  karena urusan pekerjaannya.
Berulang kali
30
71,4
0
Pernah sesekali
8
19,1
8
Tidak pernah
4
9,5
8
4
Untuk urusan pekerjaan  beberapa hari  meninggalkan keluarga
Berulang kali
16
38,1
0
Pernah sesekali
25
59,5
25
Tidak pernah
1
2,4
2
5
Untuk urusan beberapa hari  ditinggalkan  suami karena  urusan pekerjaannya
Berulang kali
32
76,2
0
Pernah sesekali
10
23,8
10
Tidak pernah
-

0
6
Sulit untuk mengambil alih tugas / tanggung jawab suami  yang berhubungan dengan nak
Ya sulit
21
50
0
Sebagian
10
23,8
10
Sebagian kecil
11
26,2
22
7
Suami  kewalahan mengambil alih tugas / tanggung jawab yang ditinggalkan isteri.
Ya
7
16,7
0
Sebagian
14
33,3
14
Sebagian kecil
21
50
42

Bobot/ prosentase


37,6
221

Namun yang jelas  untuk menjadi  orang tua solo ada kecenderungan untuk beberapa hari  ditinggalkan suami maupun  meninggalkan suami. Hanya  2,4%  yang belum pernah meninggalkan keluarga, sebagian  (59,5%)  pernah sesekali, dan sebagian kecil (38,1%) telah berulangkali meninggalkan keluarga. Begitu juga halnya ditinggalkan suami, sebagian besar (76,2%) telah berulang kali ditinggalkan suami, dan sebagian kecil (23,8%) pernah ditinggalkan sesekali.

Kondisi menjadi orang tua solo ini  memiliki kondisi kecenderungan negatif (37,6%), diantaranya adalah  :
a.          Menghadapi hidup terpisah baik dalam waktu lebih dari 3 bulan atau setidak-tidaknya akan berulang kali ditinggalkan sendiri oleh suami menjadi ibu sekaligus ayah di rumah
b.         Menjadi wanita karier harus juga  siap untuk meningglkan keluarga,  baik beberapa minggu atau paling kurang untuk beberapa hari
c.          Ditemukan pula kecenderungan untuk tidak sempurna mengambil alih tugas; baik suami untuk tugas isteri dan maupun isteri  untuk tugas suami

KESIMPULAN SARAN DAN REKOMENDASI
        
          Kesimpulan
           Menjadi wanita karier memiliki  kualitas sedang (49%) artinya sebagian memiliki dampak positif dan sebagian berdampak  negatif. Kecuali pada aspek orang tua solo (single parent) kecenderungannya negatif. Kesimpulan untuk masing-masing aspek tersebut adalah sbb:
1.  Perkawinan    dan jodoh  ditemukan  sebagian positif  dan sebagian negatif.  Nilai positif yang ditemukan dengan adanya Wanita     karier mendapatkan      suami sesama PNS/Swasta Jodoh atas pilihan sendiri Namun  juga ditemukan beberapa tantangan yang diperkirakan memiliki dampak negatif adalah;  Usia perkawinan semakin  tinggi 26-29 tahun. kemungkinan mendapatkan jodoh yang tidak bekerja tetap, atau tidak bekerja sama sekali, bahkan adakecenderungan wanita karier harus melaksanakan perkawinan dengan suami yang berbeda  etnis.
2.  Hubungan suami pada kategori  Sebagian positif  dan sebagian negatif (50,5%)   Hal-hal yang positif terlihat adanya kebebasan isteri berpergian  untuk hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya, masih adanya  rasa  ketergantungan isteri terhadap suami
     Negatifnya: Masih belum adannya kebebasan wanita untuk berbelanja dan perlu  adanya izin suami, Menemukan pekerjaan rumah lebih berat dari suami, Adanya bantuan orang lain untuk melayani kebutuhan suami, Menunda atau menolak ajakan suami dalam berhubungan sekseual
3.   Dalam hal Nilai anak dalam Keluarga berada pada criteria  cenderung positif (60,4%) Hal ini  berarti banyak  nilai positif  yang  terdapat dalam hubungan wanita karier dengan anaknya, yaitu ada kecenderungan wanita karier: Siap hidup pada hari tua tanpa harus meminta bantuan kepada anak.
Nilai positifnya Positifnya Adanyapandangan anak banyak tidak lagi jaminan kebahagiaan di hari tua. mengurusanak merepotkannya sehingga sebagian mereka menjadi ini sebagai alasan untuk membatasi kelahiran anak mereka.
4.  Dalam hal keinginan membentuk keluarga kecil, atau  Pro Keluarga sebagian positif dan sebagian negatif (56,7%)   Dampak positif yang menonjol adalah bahwa wanita karier memberikan bantuan pembiayaan kepada orangtua/ mertua mereka, namun aspek negatifnya mereka sering berbeda prinsip dengan orangtua/ mertua dalam pendidikan anak, dan tidak mau lagi melibatkan orangtua/ mertua dalam persoalan yang muncul di rumah, khususnya hubungan suami-isteri.
5   Kondisi menjadi orangtua solo ini  berada pada kecenderungan negatif (37,6%), diantaranya adalah;  menghadapi hidup terpisah baik dalam waktu lebih dari 3 bulan atau setidak-tidaknya akan berulang kali ditinggalkan sendiri oleh suami menjadi ibu sekaligus ayah di rumah. Menjadi wanita karier harus juga  siap untuk meninggalkan keluarga,  baik beberapa minggu atau paling kurang untuk beberapa hari Ditemukan pula kecenderungan untuk tidak sempurna mengambil alih tugas; baik suami untuk tugas isteri dan maupun isteri  untuk tugas suami

Saran Dan Rekomendasi
           Dari kesimpulan yang dikemukakan di atas, maka menjalani peran sebagai wanita karier dan sekaligus ibu rumah tangga  disamping memiliki dampak positif juga memiliki dampak negatif seperti tersebut di atas. Untuk menghilangkan dampak negatif tersebut, maka  temuan penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan untuik mengukur diri dalam keluarga, tempat kerja, atau sebagai petunjuk arah agar dapat dievaluasi dan untuk kemudian langkah antisipasi bagi  diri, keluarga, atau lembaga masing-masing.

Mengingat bahwa sample penelitian sangat terbatas, baru sebagian wanita karier, maka penelitian yang melibatkan sumpel yang bervariasi, seperti kepada suami, anak, atau rekan sekerja akan memungkinkan menguak rahasia dibalik wanita karier ini. Semoga !







SENARAI    PUSTAKA
Anonim. 2002.  Tingginya angka Perceraian; Jambi Ekspress; Edisi. Juli 2002
Carnegie, Dale 2001 Membina Keluarga Bahagia. Jakarta: Bina Aksara .
Cox  Frank De  1993. Human Intimacy : Marriage the Family and Its Meaning. 3th Ed.  St Paul MN: West Publishing Company.
Hanson, Shirley M.H. & Frederick W. Bozett. 1997. Dimensions of Fatherhood. New Delhi: Sage Publication PVt LTD.
Sitzer, France S.  &      Eleavor N Witney.  1997.   Life Choices. St Paul Minnosetta: West Publishing Company.
Sutja, Akmal. 2000. Panduan Penulisan Skripsi. Program Ekstensi BK: Jambi
Strong, Bryan & Christine De Vault.  1998. The Marriage and Family Expriences. St Paul MN: West Publishing Company.
Toffler, Alfin.1995. Gelombang KetigaJakarta: Gramedia


Tidak ada komentar: