Kamis, 13 Mei 2010

KONSELING NON-DIREKTIF

A. TOKOH

Konseling Non-direktif, yang juga sering disebut Terapi Terpusat pada Klien atau Person Centered Therapy dan selanjutnya disingkat PCT dikembangkan oleh Carl Rogers, direktur Rochester Guidance Center, New York Amerika Serikat. Model koseling ini lebih disukai banyak orang, dan mempunyai banyak anggota dari berbagai negara di dunia, baik di Amerika Serikat, Eropa, Asia, Afrika, termasuk Indonesia.

Rogers, psikolog kelahiran Illinois, 8 Januari 1902, yang memperoleh MA dari Columbia University, sebelumnya pernah kuliah di Universitas Wisconsin dan masuk Union Theology di New York. Kariernya dimulai dengan bekerja pada klinik psikologi di Rochster, sampai menjadi direkturnya.

Keberhasilan Rogers megembangkan PCT telah melambungkan namanya, ia diminta menjadi dosen Psikologi Klinis di Ohio State Uniersity (1940), Unoivesity of Chicago (1945) Menjadi guru besar di Wisconsin dan sekaligus menjadi direktur klinik dimana ia pernah berkerja sebelumnya. Terakhir, Rogers memutuskan menghabiskan masa tuanya, menjadi guru besar di almamaternya Columbia University.

Selama menjalani tugas seperti itu, ia banyak menulis buku, makalah dan artikel. Ia diundang menjadi pembicara dalam berbagai seminar. Bukunya yang paling terkenal adalah Client Center Therapy sebuah buku yang amat kontroversial, karena Rogers menggunakan istilah klien, sebagai ganti istilah pasien, Selain itu On Becoming a Person. Buku Rogers yang laris manis di Amerika Serikat.

Munculnya PCT ini justru dilatar belakangi oleh rasa ketidak-puasan Rogers akan teori konseling yang ada waktu itu. Rogers menolak psikoanalisa yang memandang perilaku manusia dipengaruhi oleh hubungan sebab akibat yang sangat kompleks itu. Tetapi Rogers juga tidak menerima, perlakuan yang memposisikan klien bisa dirubah oleh kekuatan eksternal atau lingkungan yang terlihat jelas pada TT.

Rogers melihat manusia adalah orang rasional dan punya potensi untuk berkembang Melalui bukunya Client Center Therapy, memicu munculnya dua kutub yang menjadi perdebatan hangat dalam dunia konseling seusai Perang Dunia II, yaitu antara pilihan, konseling terpusat kepada klien atau yang tidak terpusat kepada klien. Rogers mendapat serangan dari berbagai model yang ada, namun karena PCT tidak hanya sekedar teknik, tetapi bersifat filofis, maka mulai orang berpihak kepada pandangan Rogers ini.



B. KONSEP POKOK KONSELING NON DIREKTIF

Rogers adalah orang yang berpandangan positif terhadap manusia. Manusia menurut Rogers tidak statis, tetapi punya harga diri, konstruktif, realistis dan dapat dipercaya. Namun, manusia diyakini Rogers sebagai organisme yang unik dan tidak bisa diketahui orang lain, hanya diri ia sendirilah yang tahu. Karena itu, adalah tidak mungkin, seorang konselor menentukan yang terbaik bagi kliennya.

Meskipun Rogers tidak membuat klasifikasi teori seperti Freud dan TA, namun Rogers memusatkan teorinya terhadap SELF. Ia menempatkan Self itu dalam hubungannya dengan medan penomena, dan realitas seperti dapat digambarkan berikut ini!












Gambar: Hubungan antara self dengan organisme

Organisme adalah keseluruhan dari Individu yang bersifat unik yang ditangkap dari seseorang. Namun untuk mengenal individu itu, ada dilindungi medan fenomena (fenomena filed), yaitu sesuatu yang hanya diketahui oleh dirinya dan tak dapat diketahui orang lain tanpa pemahaman yang empatik. Hubungan antara organisme dengan self ini disaring melalui medan fenomena ini. Artinya, bagaimana seseorang bertindak akan memaknai pengalaman yang dilaluinya sepanjang kehidupannya akan tersaring melalui medan fenomena ini.

Dalam menguraikan teorinya, Rogers, menyimpulkan teorinya dalam bentuk dalil atau konsep. Diantara dalil atau konsep yang penting antara lain adalah:
1. Seseorang hidup dalam dunia pengalaman yang terus berubah dimana ia sebagai pusatnya. Pengalaman itu akan dimaknai oleh seseorang sesuai dengan pemahaman dan perasaan subjektifnya. Karenanya, sulit bagi orang orang lain mengetahui. Sumber informasi terbaik tentang seseorang adalah orang itu sendiri.
2. Reaksi seseorang terhadap pengalaman sesuai dengan yang diamatinya atau dialaminya secara subjektif. Tak terhindarkan untuk berbeda dengan orang lain.
3. Reaksi seseorang terhadap pengalaman adalah totalitas keseluruhan kepribadiannya, bukan dibentuk melalui stimulus respons
4. Manusia memiliki suatu dorongan mendasar, yaitu mempertahan, mengembangkan, dan aktulisasi diri
5. Pada dasarnya tingkah laku individu adalah usaha yang selalu berorientasi kepada tujuan, yang satu dengan lainnya berkaitan.
6. Tindakan individu selalu disertai oleh emosi atau perasaan yang berbeda sesuai dengan keberartian tindakan tersebut dengan tujuannya.
7. Jalan terbaik untuk memahami tindakan seseorang adalah melalui referensi dirinya sendiri, bukan ukuran orang lain atau ukuran umum.
8. Sebagian dari medan fenomena akan masuk secara perlahan menjadi konsep seseorang tentang dirinya (self concept).
9. Struktur tentang Self atau konsep diri akan terbentuk akibat hubungan individu dengan lingkungannya (sosial), penilaiannya atas dirinya, penilaian dia akan orang lain, dan kesan yang ditangkapnya tentang penilaian orang lain atas dirinya.
10. Kemungkinan seseorang akan bereaksi terhadap pengalamannya 1) diorganisir masuk konsep diri, 2) diabaikan karena tidak berhubungan dengan self dan atau 3) diingkari /ditolak karena bertentangan dengan konsep diri.
11. Tingkah laku seseorang biasanya selaras dengan konsep dirinya. Karena itu, untuk mengubah tingkah laku klien perlu diubah dulu konsep dirinya.
12. Orang yang menampilkan tingkahlaku tidak sesuai dengan konsep dirinya akan cemas atau tidak bisa menyesuaikan diri dengan baik.
13. Ketidak-serasiaan tingkah laku seseorang dengan konsep dirinya disebabkan penolakkannya akan pengalamannya
14. Keseimbangan kepribadian akan bisa tercipta bilamana seseorang menyesuaikan konsep dirinya dengan tindakan, atau memberi simbol (lambang, kata, petunjuk)
15. Seseorang akan menolak pengalamannya karena melihat adanya ancaman sehingga menimbulkan self image (imej diri) yang kaku dan akan muncul mekanisme pertahanan diri.
16. Dalam kondisi yang tidak ada ancaman, orang akan dapat menggali seluruh pengalamannya yang tidak sesuai dengan konsep dirinya
17. Individu akan merasa tidak ada ancaman dengan mengamati kata-kata dan tindakan orang terhadap dirinya.
18. Begitu individu telah memahami dan menerima pengalamannya terdahulu yang bertentangan dengan konsep dirinya, akan mendorong ia untuk menukar sistem nilainya dan memasukkannya sebagai struktur selfnya yang baru.
19. Keinginan untuk mendapatkan penghargaan orang lain akan menentukan nilai-nilai baru yang dipilihnya yang mengacu kepada self esteem dan social esteem.
20. Perkembangan dari self esteem dan social esteem akan mendorong individu mewujudkan dirinya.





C. PROSES KONSELING

Dari uraian tentang konsep atau dalil Rogers diatas, terlihat bahwa Rogers menempatkan klien adalah individu yang memiliki potensi untuk mengatasi masalahnya asal terciptanya kondisi yang menempatkan klien tidak merasa terancam, akan tetapi ,erasa dihargai dan diperlakukan sebagai orang yang normal.

Penggunaan teknik yang menempatkan konselor sebagai orang yang perkasa, maha tahu, atau dapat menafsirkan, bahkan merubah klien menjadi sesuatu yang tidak diterimanya. Rogers lebih mengarakan teknik konselingnya kepada proses dimana klien menjadi subjeknya. Konseling harus disesuaikan dengan kebutuhan klien dengan diciptakan kondisi agar klien menjadi aman dan tidak merasa terancam. Inilah yang mebedakan PCT ini dengan model konseling lainnya.

Dengan konsep demikian, maka proses konseling lebih difokuskan Rogers, kepada bagaimana konselor menyiapkan diriny memberikan pelayanan kepada klien yang benar-benar dirasakan klien sebagai tempat ia melambangkan pengalamannya, atau dengan kata lain tempat bagi individu untuk mengungkapkan segala sesuatu tentang dirinya secara bebas.

Agar tercipta kondisi yang demikian, ada 4 (empat) tahap yang harus dilakukan konselor secara hati-hati, yaitu:
1. Membuat Ikatan Konseling
Langkah pertama yang akan dilakukan konselor setiap kali menerima klien adalah membuat ikatan konseling. Ini sama dengan perjanjian/kontrak konseling dengan model lainnya. Mulai dari membuat ikatan konseling ini, Roger menyarankan hendaknya dilakukan dengan cara-cara:

a. Menciptakan rapport (keakraban atau kehangatan) Rapport dimaksudkan agar klien tahu cara yang akan dilakukan konselor-klien dalam proses konseling. dimana konselor akan bekerja untuk klien. Hubungan itu tidak seperti keakraban hubungan anak dengan orang tuanya, tidak pula sebagai sahabat, atau bagaikan pasien dengan dokter, bukan bagaikan paranormal yang bisa memberi resep akan tindakan yang mesti dilakukan klien. Konselor akan menjadi orang yang peka akan perasaan, pikiran atau perbuatan klien. Klienlah nanti yang akan menemukan sendiri keputusannya.
b. Permisif terhadap nilai. Ini dimaksudkan agar klien merasa aman menyampaikan pengalamannya maka konselor orang yang tidak mempersoalkan nilai baik buruknya perbuatan klien. Tetapi juga tidak diperkenan memberi label salah jadi benarnya perbuatan itu, bahkan hendaknya konselor tidak memperlihatkan ekspresi tertentu bila ada pengalaman klien yang melanggar nilai itu..
c. Konselor hendaknya menahan diri untuk menyampaikan penilaiannya, karena waktu konseling adalah milik klien bukan milik konselor.
d. Klien hendaknya diberi kebebasan untuk menentukan waktu yang mereka perlukan, termasuk untuk menyatakan dirinya kembali atau tidak. Jangan ada paksaan klien untuk datang kembali.

2. Relasi Bantuan
Setelah ikatan konseling terjalin, maka dalam relasi bantuan atau saat klien menceriterakan masalahnya, maka konselor terus menerus membangun relasi bantuan dengan cara :

a. Konselor lebih perhatian terhadap respon emosional dari pada respons pikiran Misalkan, klien menyampaikan "Orang tua saya marah karena saya tidak membayarkan uang buku". Konselor tidak menanyakan berapa jumlah uangnya, tetapi pertanyaan konselor lebih ditujukan apa bentuk marah orang tua klien itu.
b. Konselor memfokuskan kepada perasan negatif klien, seperti rasa benci atau permusuhan yang disampaikannya, kendatipun kadang-kadang ditutupi klien
c. Menanggapi perasaan yang ambivalen, yaitu sikap mendua bagaikan penggabungan antara "benci tapi rindu"
d. Konselor perlu mencermati sikap klien terhadap diri konselor sebagai penilaian klien terhadap pengalaman konseling yang sedang berlangsung.

3. Pemahaman (insight)
Konselor hendaknya memperhatikan perkembangan pemahaman (insight) klien terhadap selfnya, bila klien telah bisa memaknai pengalamannya yang bertentangan dengan konsep dirinya mampu mengakumulasikan membentuk pemahaman baru, dan terbentuk keinginan klien untuk mengaktualisasikan dirinya, maka konseling sudah dapat diakhiri

4. Penutup
Proses konseling hendaknya diarahkan kepada penutupan oleh klien sendoiri, miskipun ada siklap ambivalen dari klien, konselor dapat mendorong agar klien bisa membawa insight baru tersebut dalam menghadapi dunianya.

Tidak ada komentar: